Reviu Novel "Semasa"
Mei 14, 2020dok pribadi/Nia
Ini
adalah buku kedua, oleh-oleh dari sahabat yang sama, Kingkin. Dalam novel ini,
saya banyak menemukan keunikan dan keistimewaan dari sebuah tulisan sederhana
yang mampu membuat saya kerap merasakan hausnya membaca sebuah karya sastra
murni, terutama tulisan dari Indonesia, yang jatuh pada novel “Semasa” ini
karya Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang.
Sebenarnya
saya ingin menghilangkan rasa tertarik terlebih dahulu terhadap beberapa hal
yang membuat saya merasa kagum terhadap isi novel yang sederhana namun,
terbalut keindahan seni bertutur.
Hal pertama yang membuat saya jatuh
cinta pada novel ini adalah, design cover yang sederhana namun, mampu member
cerita tersendiri, buku dengan gaya elegan yang berukuran mini dan hanya
memiliki 146 halaman, merupakan kategori buku yang akan dibaca selesai dalam
sehari. Namun, saya pun enggan membacanya dengan cara demikian, walaupun
seringkali saya menggunakan rasa haus akan membaca novel dalam waktu yang
singkat, tapi tidak dengan novel ini. Saya pun membaca novel ini dengan cara
yang berbeda, secara perlahan, menikmati setiap kalimatnya, memahami detail
pesan yang disampaikan oleh penulis, tanpa memikirkan singkat halaman yang
tersaji.
Novel ini berkisah tentang sebuah
keluarga, hal sederhana yang dibalut dengan sajian kalimat dan plot yang begitu
baik, sehingga semua terasa tak sesederhana yang dilihat mata. Bercerita
tentang sepasang sepupu Coro dan Sachi, dimana mereka memiliki masa kecil
berada pada lingkungan yang sama, rumah dan pekarangan yang sama namun, ketika
tumbuh dewasa mereka tak lagi bersama. Membutuhkan waktu yang lama untuk
membuat mereka kembali bertemu, dan pada saat ketika mereka bertemu, semua
keadaan dan perasaan bahkan sikap mereka telah berubah, bak orang asing yang
tak saling mengetahui satu sama lain.
Enam tahun lamanya, Coro dan Sachi
bersama menghabiskan masa kecil mereka bersama, dirumah yang sama. Namun, entah
mengapa setelah terpisah, Sachi yang berada di Belanda dan Coro yang berada di
Indonesia, pun hati dan chemistry yang hilang dan rasa yang mulai renggang,
semua terlihat tak baik-baik saja.
Ketika sekembalinya Sachi dari
Belanda, Coro dan Sachi pun berangkat mengunjungi rumah peristirahatan mereka
di Pandawangi, bersama ayah Coro, ibu Sachi dan Paman Giofridis atau ayah dari
Sachi. Dirumah Pandawangi ini mereka seolah memutar kembali kenangan silam yang
pernah berkelana dirumah ini namun, tidak untuk Coro dan Sachi pada awalnya.
Rumah itu adalah rumah yang dibangun oleh kakak beradik yaitu ayah Coro dan Ibu
Sachi, yang mana mereka memiliki cita-cita untuk menghabiskan masa tua kelak,
dirumah ini. Namun, kenyataannya telah berubah. Bukan lagi seperti itu,
cita-cita dari ibu Sachi.
Walaupun kini, Sachi dan Coro tak
lagi sedekat dahulu, bahkan terasa bak orang asing, kenangan akan rumah di
Pandawangi terus mengalir, memberikan suguhan kenangan mereka silam. Namun,
untuk kali ini, bukanlah reuni untuk melanjutkan reuni atau berkumpul kembali
dirumah Pandawangi yang penuh kenangan ini, terlebih dirumah ini, pun ada kenangan
yang hidup bersama mendiang ibu dari Coro dahulu. Maksud paman Giofridis dan
ibu Sachi atau yang biasa di sebut Bibi oleh Coro, adalah memiliki maksud untuk
berkunjung kali ini ke Pandawangi adalah akan membereskan beberapa barang yang
masih diperlukan dan mempersiapkan penjualan rumah tersebut untuk menambah
kekurangan biaya pembelian rumah di Yunani oleh Bibi dan paman Giofridis.
Karena, Sachi akan kembali ke Belanda dan melanjutkan studi serta membangun
masa depannya disana. Sedang Bibi dna Paman Giofridis akan membangun cerita
hidup mereka di Yunani.
Setelah Bibi memilih untuk
menyerahkan rumah tersebut pada pemilik baru, ada sisi yang menyedihkan dalam
hal ini, yang tersisa adalah Coro dan Ayahnya di Indonesia. Kenangan akan masa
silam bersama Bibi, paman Giofridis, Sachi dan mendiang Ibu Coro, bukanlah hal
yang mudah untuk diabaikan terlebih, semua itu masih segar dalam ingatan
karena, ayah Coro kini masih sendiri, sedang Coro, tak lagi bersama ayahnya, ia
memilih untuk membangun hidupnya sendiri di sebuah kost yang terletak jauh dari
rumahnya.
Keputusan yang teramat sulit, haru
yang berlimpah ruah, mengundang air dari sudut mata. Ketika harus relakan rumah
dan kenangan terlebih mengikhlaskan melewati hari-hari sendirian, demi
keputusan dan kebahagian sang adik bersama suami dan keponakan tercinta yang
akan kembali dan melanjutkan studi di Belanda. Ini adalah sesak yang mendalam
bagi ayah Coro. Tak mudah baginya menerima semua keputusan yang cukup menyayat
batinnya, terlebih Coro yang tak berada di sisi ayahnya, dengan hari-hari yang
dihabiskan pada dunianya sendiri.
Semasa, merupakan perpaduan cerita
sederhana yang begitu kuat menarik pembaca untuk masuk dalam imaji yang
dibangun. Semasa menjadi novel favorit yang kerap ku rindukan, pesan dari penulis
yang tersampaikan secara sempurna, dengan pendekatan keluarga yang begitu haru
dan memberikan sudut pandang yang berbeda dan rasa yang begitu menyatu dengan
suasana yang terbangun dalam setiap baitnya. Penulis telah berhasil menarik
para pembaca ke dalam cerita tersebut, sembari menyampaikan maksud dari isi
cerita tersendiri. Aku menantikan karya-karya selanjutnya. Semoga karya-karya
selanjutnya tampil dengan gaya khas penulis serta plot dan alur yang tetap
mencuri perhatian pembaca ya.
0 comments