Kisah Tanpa Nama

Agustus 21, 2020

 

      

       Seiring berjalannya waktu, semua yang pernah kita lalui akan menjadi kenangan, bahkan terkadang luput dari ingatan kita. Entah karena usia yang menggerogoti atau tertimbun oleh kejadian-kejadian baru yang berdatangan. Semua rasa yang pernah hadir, semua orang yang pernah mengisi hari-hariku, telah lama tinggal dalam sebuah kota yang bernama “Kenangan” disana hiruk pikuk semua rasa, mulai tersemai,tumbuh dan akhirnya lumpuh, bahkan mati. Kau tahu, mengapa demikian? Yah. Karena, aku pernah membaca sebuah petuah “berikanlah cinta sepenuh hati, sirami ia dengan kasihmu yang tulus” lalu, akupun bergeming dan melakukannya. Namun, hal tersebut tak berbuah banyak, kenyataan lalu menyiraminya dengan sejuta racun yang mematikan.

       Tak banyak pilihanku, selain memilih diam dan tetap melangitkan sebuah permintaan pada-Nya, aku tau kecewaku dan rasa sakit, hadir atas seizin-Nya. Maka, yang perlu ku lakukan, adalah meminta padanya, agar aku dapat kembali pulih dan lebih kuat, sekalipun seseorang datang dan kembali menuang racun dalam benih rasa yang tumbuh dan bersemi. Tanpa banyak berujar ku susuri semua jalan yang ingin ku lalui, tanpa ada keraguan. Jalan itu panjang, terjal dan berliku, akupun hampir tak tahan ingin kembali pulang. Namun, seorang kawan berkata padaku, bahwa aku akan menemui rumahku kelak, jika aku mampu melalui jalan ini.

        Pada suatu malam, ku temui rasa yang tak lagi mengenal lelah, walau hari di tutup dengan kucuran keringat yang kerap membasahi tubuh. Garis wajah yang tak lagi sempurna menandakan hari ini cukup berat baginya. Ketika ia harus merasakan hal tersebut, ia kembali bergumam tentang sebuah ritual membayar tuntas apa yang menjadi alasan untuk menuai ritual tersebut.

       Semakin larut. Hari terus berganti, tanpa mengenal lelah hati itu terus menyandang sebuah rasa yang terus menjadi pemenang di hatinaya. Terkadang, senja dan diskusi panjang tentang sebuah nama mulai terukir pada bibir mungil. Hari-hari telah di lalui dengan kisah yang teramat pilu, tentang sebuah rasa yang tak menuai temu. Sebuah cerita pada angin di kala hati sedang merintih karena seduhan aroma rindu kian memuncak,

          Angin begitu menyejukan, pun matamu. Aku melihat kian hari, mata itu tetap kokoh, entah apa yang ada di dalamnya, aku tak dapat melihat semua dengan jelas, air muka itu, menjunjukan ia baik-baik saja. Apakah aku yang sedang gusar oleh angin yang selalu menyentuh mu? Bukan tentang siapa yang berada di dekatmu tetapi, tentang apa yang selalu dapat menjamah kulitmu. Terkadang membuatku ingin merongrong kepada semesta, agar tak lagi tercipta jarak antara kita.

           Sore itu. Hujan turun dengan lebatnya, seolah mewakili rasaku yang sedang gusar, oleh jarak dan pada rindu yang kian hari tak pernah berkurang, hanya tau bertambah, hanya mampu menyiksa tanpa tau mengobati. Aku terkejut oleh sebuah bayangan dari arah yang berlawanan. Ingin ku sapa dan menanyakan  perihal kabarmu. Lagi, dan lagi. Aku tak dapat mengenali sosok yang ternyata bukanlah dirimu. Betapa lucunya hati ini. Ingin ku mengakhiri hari dengan tawa yang lepas. Namun, sakit di dalam hatiku lebih over dari tawa yang ingin ku lepas.

           Mari melepas semua rasa pada awal tahun, cukup untuk tak menginginkan hadirnya pada bulan kedua ini, beristrahatlah dengan tenang, tubuhmu membutuhkan kestabilan, keikhlasan agar tak lelah terkekakang oleh rindu. Bukankah terlatih cukup membuatmu sadar bahwa, sesuatu yang terlihat baik bukan berarti tak menyiksa hati.

 

You Might Also Like

1 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts