Bencana di Lereng Senyummu

September 02, 2020


Laju senyum itu di alamatkan padaku semata, aku pun kian menyematkan dalam hati, perkara secangkir pandangan yang bertemu pada tumpuan sinar tatapan yang kian membias ke arah hati. Lengan tegak, baju putih yang menjuntai, rambut yang tertata rapi, bukan perkara siapa dirinya, darimana asalnya, seberapa banyak isi kepalanya tapi, bagaimana cara berpikirnya?

Hujan yang turun kerap memenuhi aroma tanah pada seisi ruang esophagus. Kemarin, sebuah bahasa laksana madu mulai berlumuran dalam bait-bait percakapan kita, hingga akhirnya, aku lupa dengan bilah pisau yang teramat dekat dengan jantung ku. Aku kembali menatap garis senyum milikmu. Aku tersungkur dan kaki ku berlumuran darah, ini sungguh permainan yang lucu, senyuman itu terbangun di atas lereng yang terjal. Hah, aku tertawa penuh rasa sakit tapi, aku tak kuat untuk menangis, hanya ludah  yang masih ku punya untuk ditumpahkan pada lereng yang busuk ini.

Jari-jemari kita menari diatas hangatnya cangkir yang dituangkan kopi. Mata itu terus menatap seisi ruang di dasar mata ini, dengan sedikit merapalkan mantara, kau masih saja tersenyum dengan maksud yang tak mungkin ku jamah. Rupanya ini hanyalah jalan durjana, kepalsuan instrumen yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh suhu tubuh kita melaju, lagi-lagi ini masih berada dalam lini yang penuh kebusukan dalam sebuah drama yang entah kapan akan berakhir, mungkin jika tubuh dan pikiran itu telah lelah untuk kembali merancang skenario dalam beberapa tangga percakapan dikemudian hari.

Malam ini seisi kota diguyur hujan. Aku kembali menghitung bulir hujan yang berhasil jatuh ditangan ini, sesekali ku tatap jalan yang panjang itu, tak ku temukan kau di sana, melainkan di dasar lembah yang sering kau sebut pelukan. Jarak yang tak dekat. Mungkin itu bagian dari ilusi yang terbangun, olehmu, dari mu dan untuk ku.

Sebuah meja makan mempertemukan kita diatasnya. Aku mencium aroma makanan yang begitu kuat, merebak dan mengganggu malam ku. Begitu baiknya seorang pelayan menyiapkan seluruh hidangan yang kau inginkan, tidak denganku. Kau tersenyum, lalu aku membuka sedikit bibirku, agar tampak selaras denganmu. Apa ini? Kebohongan yang tengah ku cerna sehari-hari? Apakah aku sedang bertahan dengan sesuatu yang tengah meracuni seisi otakku? Tubuhku dan terlebih rindu ku? Ah, semoga saja kematian mu kelak Tuhan berkhendak menerima mu.

Ponsel itu berdering, lebih dari yang ku harapkan. Aku ingin berhenti menatap layar ponsel yang ingin ku maki, ia masih saja terus bordering, saat ku senyapkan, ia mengendus bagaikan hewan yang mencari sesuap nasi. Tangan ku telah menjamah ponsel itu untuk kemudian menghempaskannya ke dalam genangan air dari masa lalu. Biasanya aku sangat muak dan hendak muntah menatap aliran air yang sering membuatku ingin berlalu dan takkan kembali.

Tak ada pertikaian, tak ada senyuman pun tangisan. Kita hanyalah sepasang jiwa yang ingin merdeka dengan caranya masing-masing. Aku dan dirinya, takkan bisa menjadi kita dengan keinginan yang sama. Ia terus terjatuh dan tersungkur dalam duniaku. Aku yang merasakan kegersangan dalam dunianya. Apakah kita hanyalah kisah yang berakhir pisah? Sepasang luka yang bercita-cita saling melupakan? Ah, mungkin seperti itu adanya. Tak lagi ada senyuman.


                                                                                                   Ternate, 02  September 2020

 

 

 

 

You Might Also Like

4 comments

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Saya mungkin akan sampai pada kesimpulan, bahwa kata-kata yang tercipta dari simbol imajiner itu hanyalah secercah sinar yang coba menaklukkan sinar si mentari. Meskipun akhirnya akan akan absurd juga, takkala ia(secercah sinar) telah menyatu dengan si mentari.

    Tapi apapun itu, kata adalah isyarat yang mampu berucap.

    BalasHapus
  3. Ditunggu karya berikutnya.
    Good luck 👍

    BalasHapus

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts