Sayatan Terbalut Senyuman
November 08, 2020( tampak bola mata yang dapat melihat akibat tumor pada otak)
Denting jam terus berlalu, langkah
yang semakin melaju ke arah sebuah bangunan besar yang tampak kokoh, tak
terhitung berapa kali derap langkah yang kadang tersendat akibat berpapasan
dengan wajah yang tak ku kenal, disini banyak mata yang sibuk dengan berbagai
kegiatan, suasana terlihat ramai, bau obat, alkohol yang digunakan sebagai
antiseptic merebak dan menghambur dalam esophagus ku, melintasi masker yang
kukenakan sebagai bentuk kepatuhanku akan protocol kesehatan yang diwajibkan
bagi setiap pengunjung yang bertandang ke bangunan ini.
Aku yang telah sampai pada sebuah
Instalasi mencoba untuk menemukan kursi yang disediakan untuk pengunjung,
berharap bisa beristirahat sejenak dan mengatur nafas yang terengah-engah,
berlarian bak dikejar seekor anjing yang hendak mengigit. Setelah ku rasa
cukup, aku berusaha menemukan smartphone yang terletak didalam tas sanggul
milikku, tak berselang beberapa lama, aku menemukan benda yang ku cari.
Aku mengikuti seorang wanita paruh
baya, yang kusapa Bibi, ia menyntun langkahku pada sebuah ranjang diantara
beberapa ranjang disamping kiri dan depan. Aku berusaha bersikap biasa saja,
walau sesak didada sebentar lagi akan tumpah dan isak tangisku akan pecah dalam
keheningan. Ku lihat, ia menatap kea rah langit-langit dengan wajah sendu tapi,
tatapan itu kosong, tak ku temukan apapun dari mata itu. “Paman tak dapat
melihat lagi, setiap membuka mata, yang didapati hanya kegelapan, katanya” ungkap
wanita yang ku sapa Bibi. Tertegun beberapa waktu, berusaha memahami pengaruh
sakit yang diderita dengan penglihatannya yang melemah pada kedua matanya, aku
pun permisi ke sebuah toilet pada sisi kanan ruangan tersebut.
Pertemuan kami telah lama berlalau,
lama sekali. Mungkin, aku tak lagi dapat mengingatnya. Ketika, pertemuan kami
berlangsung usiaku masih terbilang balita, wajar saja, jika aku tak lagi
mengenali wajah paman dewasa ini, hanya mendengar kabarnya dari salah satu
pamanku yang sering ku sapa Papa Man, yang memiliki nama Rahman Lantu. Beberapa
waktu lalu keluarga kami merencanakan pertemuan keluarga besar kami namun,
Tuhan mempertemukan ku dengan paman lebih awal, dengan keadaan yang tak
baik-baik saja, melihat kenyataan ini rasanya, sayatan sembilu itu makin nyata.
Sentungan tanganku direspon dengan
senyum bahagia, garis wajahnya yang menahan sakit terus memancarkan senyuman,
aku tahu, ini sakit yang teramat mencekik, ia terus tersenyuman dalam beberapa
waktu, sembari berkata tentang betapa kaget dan senangnya atas kedatanganku,
padahal ia tak dapat melihat rupa ku namun, ia berkata seolah kami saling
beradu tatap. Ia salah satu lelaki humoris yang gemar bersenda gurau, setiap
waktu. Aku tak pernah menyangka ia akan tetap bersenda gurau dikala sakit yang
begitu mencekik menyergapnya.
Tak berselang lama setelah aku
bercakap-cakap dengan paamn, seorang petugas mengnatarkan makan siang pasien.
Sembari mengelus kepala yang dikeluhkan sakit yang tak biasa, aku mencoba
mengalihkan fokusnya dengan cerita-cerita masa silam dan menawarkan untuk ku
beri makan, ia pun menyetujuinya dengan perkataan yang penuh semangat, Bibi pun
mengurai senyumnya. Aku masih tak bisa menyembunyikan sedih yang kerap
mengekangku dihadapan paman. Laa ba’sa Thahorun In shaa Allah, kalimat yang
selalu ku lantunkan, dengan usia yang terbilang cukup muda, ia harus divonis
mengidap tumor otak, ini bukanlah perkara yang biasa, lagi-lagi mata ku mulai
basah.
Entah sejak kapan, pendingin ruangan
tak dapat beroperasi, udara terasa panas, keringat pun berguguran dari tubuh
tiap orang yang berada diruangan tersebut. Aku melihat paman mulai tak nyaman
dengan posisinya, ku coba meraih kipas yang terletak diatas meja pada sisi
kanan tempat tidur, ku arahkan kipas tersebut pada samping badannya, dan mulai
mengipasi sisi kiri badannya, sebisaku. Berkat kipas tangan yang tak seberapa
banyak menghasilkan udara dingin, ia pun terlelap.
Tubuh kurus nan lemah, mata yang
jakung lagi rambut yang memiliki panjang hanya berkisar 1 cm, terus ku tatap
tubuh yang tak lagi bertenaga untuk bergerak, bangun pun tak dapat dilakukannya
seorang diri. Aku percaya dengan kasih-Nya yang tiada henti dan sifat
pemurah-Nya, permintaanku tak banyak untuknya, angkatlah sakit yang
dirasakannya, yang tak pernah ku rasakan ini, kembalikan ia pada dkondisinya
seperti sediakala, ku tak kuasa mendapati semua ini. Begitu mendadak rencana-Mu
Tuhanku. Ah, aku terus saja ingin berada pada sisinya.
-Catatan
03 November 2020
0 comments