Desember Kelabu
Desember 26, 2020
Hujan
masih gemar turun tanpa aba-aba, aku kembali menyerngitkan alis sembari
mengumpat, dengan tatapan penuh kekesalan dan keresahan banyak hal yang harus
tertunda, tak lupa pula cucian yang harus berpindah dari kamar ke laundry, sungguh
ini hal yang wajib ku lakukan ketika cuaca sedang bercanda. Tak lupa, aku lebih
banyak menceritakan perihal hari-hari ku pada Tuhan ku. Ini memang saat yang
tepat. Romantis bukan, bercakap-cakap dikala hujan, apalagi setengah berbisik
pada sang Pencipta, Ah rasanya aku sedang menikmati percakapan panjang ini
kepada Rabb ku.
Jalanan yang basah sering kali
membuatku bermalas-malasan ketika hendak berpergian, selain takut turun hujan
saat diperjalanan, aku memang tak terlalu suka melewati jalan yang basah lagi
licin, Banyak asumsi yang beterbangan pada seisi kepalaku. Apakah aku sungguh
berlebihan? Mungkin, menurut kebanyakan orang tapi, itulah kenyataannya.
Ketika senja mulai terlihat lebih
tua, aku meneguk secangkir kopi, di depanku hadir seorang teman lama, ia terus
saja bercakap-cakap perihal keresahannya pada suatu daerah yang amat memilukkan
menurutnya. Ia lalu bertanya, “dimana akan kau habiskan liburan akhir tahun
ini? Di gunungkah? Atau di pantai?”. Sejenak aku menganggap angin lalu, ku
biarkan saja, ia terus mengoceh bak seorang pastor yang sedang berkhotbah
didepan jemaatnya. Persetan dengan liburan atas nama tahun baru.
Diskusi uring-uringan itu terus
beerlanjut, banyak kata yang terus mengalir dari beribu pertanyaannya tentang
diriku, salah satunya “Dengan siapa akhir tahun ingin akan kau lewati?” dengan
wajah sedikit kecut, aku lantas menjawab dengan ketus, “Tak ingin bersama
siapapun, selain diriku sendiri”. Gelak tawanya pun memenuhi seisi ruang itu,
beberapa mata tertuju pada sumber suara yang terdengar menyakitkan telinga.
Ketika hujan mulai mengalah oleh
sinar mentari yang mulai menampakkan sianarnya, aku lalu buru-buru pamit diri
dan mengurungkan niat untuk lebih banyak menikmati Red Velvet yang telah ku
teguk dengan penuh kenikmatan, mengingat amandel yang sering menhantui secara
tiba-tiba, aku memilih mengalah, bukan berarti kalah, apalagi kalap.
Setelah sampai di beranda kamar, aku
kembali terngiang-ngiang gelak tawa, dan pertanyaan sialan, dari manusia
keparat tadi. Mengingatnya membuat aku ingin memuntahkan seluruh isi perut.
Bukan bermaksud apa-apa, pertemuan kami memang direncanakan namun, bukan
membahas tahun baru yang pastinya. Dasar amfibi, aku kembali mengumpat.
Notebook
itu tetap ku nyalakan, sembari mencari sesuatu yang ingin ku singkirkan dari
folder pilihan. Setelah melihat beberapa kenangan, rasanya ingin memutar waktu
dan tak ingin bertemu beberapa orang dari hidupku di tahun 2020 ini. Entah
kenapa, rasanya tahun ini penuh kejanggalan dan puzzle yang hilang. Aku tak ingin lebih banyak pusing dengan puzzle yang entah kemana perginya,
apakah puzzlenya yang ingin pergi
atau aku yang sengaja melewatkan. Ku rasa, ia memang ingin pergi, dan aku tak
pernah berniat menahan apapun yang ingin pergi dari hidupku.
Setelah memasuki bulan diakhir
tahun, ritual wajib yang kulakukan ialah mengevaluasi beberapa resolusi yang
pernah ku buat pada awal tahun ini. Setelah melakukan semua ritual itu,
secangkir susu hangat bisa merubah mood. Diluar
hujan masih setia pada malam, sembari menuliskan beberapa keresahan, aku
kembali tenggelam pada hal-hal yang membuat capaian yang ku rencakan gagal, ah
ini memang tak mudah, terlihat tahun ini penuh kejutan, dengan hadirnya wabah Covid-19.
Setelah melakukan semua hal ingin ku
lakukan, aku kembali membunuh semua yang pernah ku inginkan pada tahun ini,
mulai dari harapan, cita-cita dan hal-hal yang ingin ku capai. Rupanya,
beristrahat dalam keadaan ikhlas, tanpa dendam lebih nyenyak. Pernah
terfikrikan akan penghuni surga, tak semua tentang amal sholeh yang mereka
miliki tapi, adapun tentang mereka yang hatinya bersih dari dendam dikala
tidur.
0 comments