Aku yang Tak Sadar Pernah Mengidap Internalized Misogyny
Januari 30, 2021
Bermula
ketika aku tumbuh pada keluarga yang mana lebih dominan perempuan. Jumlah
saudara kandung seluruhnya adalah perempuan. Memiliki ibu yang tegas, disiplin
dan selalu menuntut aku menjadi bagian dari do
list yang kerap menjadikanku perempuan yang tumbuh tanpa ketergantungan
terhadap orang lain dalam bentuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aku memiliki
seorang Ayah yang sama mementingkan tuntutan prestasi dan kemandirian dalam
hal memenuhi beberapa kebutuhan yang dapat ku lakukan. Semua itu menjadi bagian
dari kewajiban yang telah ku telan sejak dapat melakukannya. Semua tuntutan itu
telah mendarah daging. Tanpa kompromi, aku kerap melakukan semua yang
kuinginkan sendiri, jika aku dapat melakukan seorang diri, mengapa harus
meminta bantuan orang lain? itu hanya akan memakan waktu, dan terlihat lemah.
Pikir ku, saat itu.
Ketika
aku duduk pada bangku TK(Taman Kanak-kanak), aku melihat teman-teman sebayaku,
terutama perempuan, begitu lenyeh, lebih suka dibantu untuk melakukan hal-hal
kecil yang sebenarnya dia bisa, seperti membuka tutup botol air minum, membuka
bungkusan nasi kuning, lebih suka dibonceng saat bersepeda, begitu lambat
memahami pelajaran, malas mengerjakan tugas sekolah dengan dalih tak mampu,
tanpa pernah mau mencoba. Hal tersebut tak hanya terjadi pada saat aku duduk
dibangku TK namun, terus berlanjut hingga aku duduk dibangku SMA (Sekolah
Menengah Atas).
Sejak
TK bahkan hingga SMA aku tetap meyakini bahwa, melakukan hal-hal yang dapat
kita lakukan untuk diri sendiri tak baik menjadi beban buat orang lain. Aku
sering berada pada keadaan dimana saat makan dan kehabisan air minum, aku tak
harus teriak meminta pertolongan untuk memasangkan galon pada dispenser tetapi,
dengan senang hati aku memasang galon sendirian. Ketika aku dihadapkan pada
situasi mendapatkan tugas sekolah yang berat, aku selalu berusaha mencoba
belajar dan memahami, walaupun sulit dan hasilnya tidak sempurna. Setidaknya
pernah berusaha, tidak mudah menyerah, tidak menjadi beban orang lain dengan
meminta mereka yang mengerjakan. Hingga akhirnya, aku tiba pada sebuah kondisi
dimana aku yang sangat tak pandai dalam pelajaran hitungan harus mengikuti
ujian sebagai syarat wajib. Dalam keadaan sulit seperti itu aku tak pernah
menyerah dengan melakukan hal-hal yang melahirkan dosa, seperti menyontek
dengan cara apapun, yang mana hal ini masih istiqomah ku jalani hingga saat
ini. Dan semua wanita yang tak dapat melakukan hal yang sepertiku, menjadi
standar ideal atau standar perempuan, aku selalu beranggapan mereka less woman.
Perempuan
yang tidak sama seperti aku itu stereotipikal, aku jadi sering seksis sama
kelompok tertentu dengan melihat hal-hal yang tak ada pada diriku, merasa
menjadi tidak sama dengan kebanyakan perempuan lainnya. Dalam hal belittling terhadap perempuan dengan
kemampuan dibawah rata-rata menjadi bahan makanan sehari-hari, bila bertemu
dengan beberapa teman yang tak memiliki
kemampuan berbicara didepan umum ketika diminta, takut mencoba sesuatu yang
baru karena, takut gagal, tak mau berusaha mengerjakan tugas sekolah tapi sudah
beranggapan susah, lebih menye-menye
ketika dituntut harus tegas. Semua itu berakhir dengan impact yang sungguh tak baik dalam bagian sendi hidupku.
Secara struktur teori, internalized misogyny berada di dalam
teori internalized sexism, yang kurang lebih sama seperti internalized misogyny, terjadi di dalam diri tiap individu yang
berada dalam masyarakat patriarkal. Internalized
sexism sendiri berada di dalam teori internalized
oppresion atau opresi dalam diri sendiri yang juga terjadi karena
faktor-faktor eksternal, yang berbeda adalah hal ini terlahir dari masyarakat opresif,
bukan hanya patriarkal. Aku selalu merasa lebih istimewa dengan menyandang
istilah “I’m not like another grils”
merasa lebih baik ketika berbeda dan sering belittling
terhadap perempuan lainnya.
Struktur dan institusi
masyarakat membentuk distribusi kekuasaan dengan mendorong dan bertumpu pada
peran gender. Selain itu salah satu pola tetap pada distribusi kekuasaan adalah
ketimpangan besar antara laki-laki dan perempuan (Koester, 2015:2). Maka dapat
dikatakan bahwa untuk meraih kekuasaan, seseorang harus menjadi laki-laki
terlebih dahulu.
Dampak pada beberapa
ruang keseharianku yang terasa patriarki tanpa aku sadari, ternyata aku sering
menyalahkan diri sendiri, mencerca kekurangan dan menghardik diri sendiri
ketika, aku tidak memenuhi standar yang ada pada masyarakat. Contoh
sederhananya, aku merasa gagal atau tidak masuk dalam kategori ideal ketika,
standar wanita cantik itu, harus berkulit putih sementara, aku memiliki tone skin yang lebih dark.
Menurut sosiolog Allan G.
Johnson, "misogini adalah sikap budaya kebencian terhadap perempuan karena
mereka adalah perempuan." Johnson berpendapat bahwa:
Kebencian terhadap wanita
merupakan bagian sentral dari prasangka seksis dan ideologi dengan demikian,
merupakan dasar penting bagi penindasan perempuan dalam masyarakat yang
didominasi laki-laki.
Seperti teori yang
dikemukakan oleh Allan G. Johnson, aku dominan memiliki teman lelaki yang
jumlahnya lebih banyak, daripada perempuan, hal ini dipengaruhi oleh sikap dan
pemikiran yang seksis terhadap perempuan itu sendiri. Tak heran, jika aku
merasa lebih nyaman dengan teman laki-laki. Aku selalu beranggapan bahwa,
perempuan jauh lebih ceroboh, penakut dan suka menyulitkan orang lain dalam
bertindak daripada laki-laki. Laki-laki lebih tegas dengan maskulinitas yang
dimiliki, mampu bersikap tegar dikala terpaan badai masalah hidup menepi dan
hal-hal sebangsa lainnya.
Berangkat dari prilaku
Internalized Misogyny inilah, aku masih sama istiqomahnya sampai sekarang
dengan teman-teman yang lebih di dominasi oleh laki-laki, teman curhat ya
laki-laki. Namun, seiring bertambahnya usia, pengetahuan dan beberapa
pengalaman yang membuatku paham bahwa internalized
misogyny ini tidak baik, dengan mengidap penyakit jenis ini menjadikan kita
saling mendikotomikan satu sama lain (perempuan). Hal ini tak seharusnya
terjadi pada kita sesama perempuan. Mulai dari seksis, bahkan menjadi bagian
dari patriarki yang seharusnya kita saling menguatkan sesama perempuan,
bahu-membahu dalam hal kebaikan bahkan mendukung dalam segala keputusan yang
positif.
Apakah kalian pernah
menjadi pengidap Internalized misogyny,
tanpa kalian sadari? Aku dahulu pun tak pernah tahu, alias tidak pernah bisa
mendiagnosis diri sendiri. Ketika saat itu, pengetahuan dan pengalaman yang
minim, menjadikanku merasa terus istimewa dengan istilah I’m not like another grils tersebut. Untuk merasa lebih baik dan
seksis terhadap perempuan lain atau kelompok tertentu, tidak usah diragukan
lagi. Istiqomah dengan sahabat laki-laki, lebih demen temanan dengan laki-laki,
terus aja mengalir bagaikan air.
0 comments