Lupakan Aleppo oleh Paola Salwan Daher

Januari 15, 2021

 

                                                                    dok pribadi/Nia


‘’Hanya dalam kesadaran akan kondisi otentik kitalah, kita dapat menggali kekuatan untuk hidup dan alasan untuk berjuang”

-Simone de Beauvoir

-Abu Nawas

Tak ada yang percaya kepadaku, tak satupun orang memberiku kepercayaan, tapi ku tahu pasti bahwa  aku orangnya selalu jujur. Di kota kuno bernuansa oker dan berhawa panas ini, yang berdiri kaku tanpa perasaan, baying-bayang bangunan membentuk siluet disepanjang jalan berbatu curan, kegembiraan, kehidupan, malapetaka,  dan drama.

            -Noha

Kini, air mata untuk menangis pun tak punya, air mataku telah mongering dan dalam kisah yang paling sederhana; aku mati.

            -Shirine

Aku ini pemarah, aku marah pada tanahku, hidupku, ketiadaanku. Aku bangun setiap pagi dengan rasa asam dan logam pahit di ludah. Pagi-pagi darahku sudah mendidih di dalam pembuluhku yang letih.

 

            Ini adalah sebuah kisah yang dituliskan oleh Paola Salwan, dengan masing-masing masalah hidup yang dimiliki oleh ke-3 tokoh yang memiliki keinginan untuk merdeka, tanpa intervensi dari pihak manapun. Berlaku semaunya, memilih jalan hidup dan dapat mengambil keputusan sendiri atas dirinya.  

            Paola menyadarkan kita akan masalah, dimana semua manusia , memiliki masalah dengan kadar yang berbeda, dengan tekad yang berbeda dalam merespon masalah datang dan hinggap dalam rentan waktu yang berbeda, walaupun masalah itu hanya singgah dan tak menetap.

 

“Anekdot itu tiba-tiba membuatku mengerti bahwa antara para istri itu, sebagian juga mengalami penderitaan yang sama denganku. Mereka juga semestinya berpikir hal yang sama tentang ini. Saat dulu bertemu dengan seorang lelaki tampan, mereka mungkin juga berpikir bahwa mungkin inilah kunci pembuka otak kebebasan, jalan menuju kehidupan bertabur kebahagian, bahwa mereka tak akan lagi merasa sendiri bahwa seseorang, sesuai janjinya, akan mengurusi mereka seumur hidup. Aku juga seperti mereka”. –Noha, Halaman 22.

Puncak penyesalan seorang Noha, ketika menikahi lelaki yang dianggap baik pada usia 15 tahun. Karena, tampang yang rupawan dan sikap yang gemulai, penyayang mampu meyakinkan Noha akan kebahagian seumur hidup yang akan diperolehnya. Seiring berjalannya waktu, Noha ternyata bukan hidup dengan tampangnya, tapi dengan sikapnya. Bukan saja dinamis, tapi ia telah melepas topeng dan kepalsuan sikap yang selama ini ia tunjukan. Bukan kebebasan yang didapatkan seorang Noha, melainkan bentuk intervensi dan intruksi yang terus membuatnya stress dan sakit. Obat penenang yang kerap menjadi sahabatnya. Semua pekerja dirumahnya tak lagi ia kenal. Ia hanya mengenali dirinya. Yang semakin ringkih, goyah dan telah mati kisahnya.

“Tetapi Abu Nawas tidak memberontak terhadap ketetapan Ilahi, dia dan sesamanya sejak lama telah terbiasa dengan rasa sakit tak berkesudahan, dengan rasa kehilangan orang-orang yang dikasihi, terbiasa ditinggalkan, dan juga biasa dengan semua sikap semua pemerintahan yang sedang amnesia. Kesengsaraan menjadi sebuah kebiasaan, dan harga diri adalah satu-satunya benteng pelindung dari kegilaan” –Abu Nawas, Halaman 26.

            Abu Nawas yang menjadi korban pemerintahan yang dirundung amnesia akan nasib rakyatnya, Ia yang paham akan hakikat dirinya sebagai hamba yang mengaku ber-Tuhan. Memberontak kepada sang Ilahi bukanlah solusi, dan tak pernah dibenarkan dalam agama, apapun alasannya, Tuhan bukan tempat dituntut tapi tempat meminta petunjuk. Suasana rasa sakit yang diperoleh Abu Nawas, menjadikan dirinya semakin kebal, dan terbiasa merasa semua bukanlah hal baru yang perlu terus di jejaki, ia telah beradaptasi dengan lebih kuat. Ia percaya bahwa Tuhan takkan meninggalkannya, harga dirinya terus dijaga, tak pernah dihiraukan apa kata orang, ia tak pernah sibuk menjaga citra di mata manusia namun, ia sibuk menjaga harga dirinya di mata Tuhannya.

“Sesampainya di Aleppo, aku meninggalkan hidupku. Aku meninggalkan Lebanon dengan tekad bulat bukan saja untuk meninggalkan negaraku, melainkan juga untuk meninggalkan hidupku yang lalu. Seperti seekor ular yang berganti kulit, melepaskan semua pakaian yang sudah tak nyaman bagiku, yang sesak ditubuhku dan cukup untuk ku pakai lagi”.  –Shirine, Halaman 27.

            Meninggalkan, bukan berarti melupakan dan megutuk seluruh ingatan akan tempat dimana ia dibesarkan. Terkadang kita perlu tempat baru, bukan untuk beradaptasi saja namun, untuk memulai hidup dengan semangat baru dan kembali produktif, tempat baru layaknya hormone dopamine. Mampu menghilangkan rasa penat. Dan kita butuh itu. Untuk melupakan seutuhnya itu mustahil. Olehnya itu untuk sedikit membuat kita lebih rileks, kita butuh tempat baru yang membawa udara yang berbeda.

 

You Might Also Like

3 comments

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Kalau bisa bilang "cinta itu datangnya dari Tuhan", jangan lupa kalau otak juga dari Tuhan.

    Jangan sampai mencintai tanpa mikir!
    Dia bagus gak buat diri sendiri? Dia baik gak buat ke depan nanti?

    Kalo isi jiwamu hanya cinta, cinta, dan cinta, maka jangan pernah kecewa jika ada keburukan yang muncul tiba-tiba.

    Kesiapanmu harus benar-benar kau jaga, jangan mudah terlena hanya karena rupa, harta, atau tahta.

    Yang penting adalah akhlaq dan agama. Yang shahih, dari hati, merasuk ke jiwa, tanpa kontaminasi apa-apa.

    Memang tak ada manusia sempurna, maka kamu dan dia ada itu untuk saling menyempurna. Tapi jika malah berat sebelah, kayuhan bahtera pasti susah. Entah kamu atau dirinya pasti akan ada yang sering terluka, itu BAHAYA!

    Perahu kehidupan harus seimbang, agar bisa tenang dan senang dalam menghadapi deru ombak juga badai yang kan sering datang.

    BalasHapus

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts