Standar Tuntutan; Wanita dengan Usianya

Januari 25, 2021

 


       Aku adalah salah satu gadis yang dibesarkan pada lingkungan yang sering menuai tuntutan akan sebuah standar yang terbangun sejak dahulu, entah kapan. Sejak aku tumbuh remaja, menjadi seorang gadis yang utuh, tak sedikit tuntutan yang ku terima, mulai dari bagaimana seharusnya aku bersikap sebagai seorang perempuan, bersikap dengan seorang lelaki bahkan dengan beberapa orang yang sama-sama manusia biasa. Awalnya aku menganggap ini bagian dari kebenaran, dan itu merupakan nilai absolute yang terus bertumbuh di masyarakat.

            Pada mulanya ini terjadi pada kita tanpa kita sadari. Pada usia 15 tahun, aku sering menemui beberapa lelaki yang tak memiliki hak atas hidup ku namun, meminta ku dengan beberapa hal, “senyum dong, jutek amat, hehe”, "neng, cemberut mulu, senyum dong kan tambah cantik kalo senyum". Tahukah kalian ini bagian kecil yang selalu kutemui. Tidak berhenti hanya disitu, ketika aku memilih untuk tetap tidak berhijab pada usia remaja, dibilang aku masuk dalam kategori perempuan yang tak mengenal agama, aku penasaran jika Tuhan bisa berkata langsung pada hamba-Nya, apa yang akan dikatakan, ketika sesama hamba-Nya meyakini dirinya adalah Tuhan atas manusia lainnya.

            Ketika aku berada dalam beberapa kegiatan organisasi yang aku ikuti sejak remaja, aku menemui beberapa hal serupa dogma, yang taka sing atau bukan cerita baru, ketika kaum lelaki menganggap bahwa segala pekerjaan yang berkaitan dengan dengan dapur menjadi hal wajib yang dilakukan oleh perempuan dan lelaki seolah pamali untuk mengerjakannya, dalam hal ini membantu pekerjaan wanita dengan kemampuan mereka. Karena, hal ini dianggap seolah pamali, laki-laki cenderung merasa seperti wanita jika harus pusing turut membantu pekerjaan wanita yang sebenarny manfaatnya untuk mereka bersama.

            Mulai dari pakaian yang terbuka dibilang tak kenal agama, pakaian tertutup diberi warning hati-hati nanti salah aliran jatuhnya, aliran sesat. Semua pekerjaan dapur sepenuhnya tanggung jawab perempuan, dan laki-laki tak seharusnya mengambil andil didalamnya. Wanita yang memilih berkarir dan berkeluarga dianggap sebagai pelaku penelantaran suami dan anak. Perempuan tak perlu berpendidikan tinggi karena, nanti susah mendapat jodoh dan masih banyak standar serupa yang tak berujung kejelasan maksudnya, aku sudah lama mengetahui dogma sampah macam ini hanya akan ditelan oleh penyampah pula.

            Aku tak pernah tertarik untuk mengurusi hal-hal serupa yang menjadi bagian dari standar masyarakat tersebut. Hanya tak ingin menduakan Tuhan. Ku tau Tuhan ku murka bila diduakan. Entah sampai kapan, standar itu terus menjadi tolak ukur untuk perempuan dengan segala hal yang membuat perempuan terus dituntut untuk menjadi boneka yang mereka mau. Perempuan yang suka dandan dianggap berlebihan dan penggoda laki-laki. Perempuan yang tak suka berdandan dianggap tak pandai mengurus diri dan menjijikan. Apakah menjadi perempuan itu sebuah tuntutan dan sebegitu dihantui oleh kutukan mulut sampah tersebut?

            Hingga pada usia dewasa ini, aku bingung dengan tujuan dan seberapa jauh hak mereka untuk membuat standar pada perempuan dan seolah berkuasa atas diri mereka. Banyak yang mengukur seorang perempuan dari nilai virgin yang dimiliki, tapi lupa mengukur laki-laki yang tak lagi perjaka. Lupa bahwa virgin bukanlah segalanya, apalagi untuk mengetahui bagian dari privasi perempuan bukanlah hak mereka, sama sekali.

            Untuk beberapa hal yang merujuk pada keahlian pekerjaan yang dapat dilakukan oleh perempuan namun, lebih diidentikan pada laki-laki, disini seperti menyetir mobil dan sejenisnya, yang selalu diidentikan dengan laki-laki yang lebih baik dan dianggap perempuan tak berkompeten dalam hal ini. Kemudian, untuk menjadi seorang pemimpin, dalam skala kecil ketua kelas atau ketua Osis dianggap laki-laki lebih berkompeten ,sigap dan tangkas sedang, perempuan dianggap takkan memiliki kemampuan lebih baik dari laki-laki dalam hal ini.

            Aku pernah sampai pada suatu keadaan yang mana dikatakan bahwa, saat ini kesetaraan atau pengakuan terhadap kemampuan perempuan dalam hal kepemimpinan dan beberapa hal yang sering dikeluhkan atas dasar kesetaraan gender,  tanpa disadari masih terus bertumbuh dengan subur pada masyarakat patriarkal bahkan dianggap hal yang wajar, yang mana kebanyakan perempuan pun mengamini dogma ini sekalipun menyudutkan.

             Natasha Walter menulis mengenai seksisme dalam bukunya yang berjudul Living Dolls: The Return Of Sexism. Natasha mendefinisikan seksisme sebagai “diskriminasi yang dilakukan terhadap orang lain berdasarkan jenis kelaminnya, sebagian besar perempuan” Walter, 2013 : 4. Seksisme berisi serangkaian asumsi dan tindakan yang digunakan laki-laki untuk menguasai perempuan.

Menurut Watson, seksisme dapat digolongkan menjadi:

  1. Old Fashioned Sexism Asumsi yang berkembang di sini adalah asumsi kuno mengenai perempuan atau laki-laki yang sudah ada sejak zaman dulu. Contohnya bahwa laki-laki lebih pintar dari perempuan, pemimpin harus berasal dari laki-laki, dan perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi karena pada akhirnya akan berakhir di dapur. 
  2. Modern Sexism  muncul dari anggapan bahwa perempuan dan laki-laki sudah setara dan sejajar dalam masyarakat. Karena itu, muncul pandangan bahwa seksisme bukan lagi masalah dan hal-hal yang dilakukan untuk memudahkan perempuan tidak lagi diperlukan. Seksisme modern mengabarkan fakta bahwa masih ada kasus diskriminasi gender misalkan dalam hal gaji, atau jumlah perempuan yang menjadi wakil di wilayah politik.
  3.  Ambivalent Sexism Ada dua tipe seksisme ini yakni hostile dan benevolent. Hostile didasari oleh rasa benci terhadap jenis kelamin tertentu. Contohnya perempuan dianggap cengeng dan suka mengontrol laki-laki makanya disebut sumber masalah. Bahkan para penganut hostile sexism memandang feminisme sebagai kelompok perempuan pembenci laki-laki yang sering kali diidentifikasi sebagai lesbian. Sementara benevolent sexism menganggap bahwa perempuan memiliki moral yang lebih baik dari kaum laki- laki karena itu harus dilindungi dengan baik. Namun, sikap ini berpotensi menjadi diskriminasi. Perempuan dianggap sebagai makhluk lemah yang harus dilindungi laki-laki, karena itu tidak boleh bekerja, tidak boleh pulang malam sendiri, harus bergantung secara finansial oleh laki-laki. Perempuan yang mandiri justru banyak tidak diminati karena dianggap terlalu mendominasi.

 

Walter, 2013 : 23- 29 Seksisme dapat diwujudkan dalam berbagai sikap atau kepercayaan, seperti:

  • Kepercayaan bahwa satu jenis kelamingender lebih berharga dari yang lain.
  •  Chauvinisme laki-laki atau perempuan.
  •  Sifat misogini ketakutan terhadap kesetaraan perempuan atau misandria kebencian terhadap laki-laki.
  •  Ketidakpercayaan kepada orang yang memiliki jenis gender berbeda.

        Seksisme yang merupakan asumsi menyudutkan ini terus tumbuh di tengah-tengah masyarakat kita, seringkali kita tak menyadari bahkan mengimani dengan baik tentang hal ini. Masyarakat patriarki telah lama mengimani bahkan menganggap hal ini sebagai hal yang memiliki kebenaran  absolut hingga kita tak jarang dihadapkan pada pemikiran seksisme yang berujung kita dikatakan liberal dan sekuler oleh para kaum patriarki ini.

        Hingga dewasa ini, aku sudah tak lagi dapat menghitung berapa banyak asumsi seksisme yang dihadapkan pada diriku secara pribadi, mulai dari tuntutan dan standar pada usiaku yang telah terbilang memasuki dewasa. Aku telah lama mengabaikan manusia patriarki yang menuhankan diri sendiri, yang terus menghitung kebaikan dirinya, layaknya pembantu malaikat pencatat amal baik manusia, dan mengakimi diriku atas standar yang dibuat dan aku tak pernah mencapainya, hingga semua yang ku lakukan menjadi tak bernilai di mata mereka. Dihadapkan pada posisi seolah neraka dan surge adalah milik mereka bukanlah hal yang tepat bagi kita pembelajar.


Tidore, 25 Januari 2021


You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts