Toxic Positivity

Januari 28, 2021

 

sumber:merdeka.com


            Pada era globalisasi ini, dengan segala kemudahan untuk mengakses pesan dengan rekan,sahabat dan bahkan keluarga cenderung lebih mudah. Tidak heran, kebanyakan orang-orang terdekat dengan jarak tempuh yang jauh untuk masing-masing kediamannya memilih untuk curhat melalui akun sosial media dan berbagi keresahan dan masalahnya melalui telepon pintar pada beberapa orang yang dianggap dekat dengannya, atau yang dianggap dapat memeberikan dukungan serta validasi perasaan yang dirasakan ini benar, sekalipun negative thinking.

            Apakah kamu sering membaca beberapa saran seperti “good vibes only”, “having a positive attitude” atau “Be happy” ini adalah prilaku yang sering dilontarkan oleh si pendengar curhatan pada pelaku, dengan harapan keresahan atau kesedihannya dapat pudar bahkan hilang dan berubah menjadi kebahagian. Padahal, setiap orang takkan selalu bahagia. Rasa sedih, bahagia, kecewa, jijik, marah dan lain sebagainya, merupakan hal yang wajar. Perasaan manusia memang seperti itu, dinamis. Semua perasaan tersebut normal dan memiliki fungsinya masing-masing.

            Pada posisi seperti itu, mungkin kita pernah berada pada posisi menjadi korban perasaan kita sendiri atau pelaku Toxic Positivity tanpa disadari. Kita sering kali menganggap bahwa stress yang menimpa korban adalah hal biasa. Padahal impact dari stress merupakan masalah serius yang dapat berujung pada berbagai hal negatif. Seringkali kita merespon dengan pandangan yang begitu sempit tentang orang yang depresi lalu bunuh diri. Kita seenaknya berkata dia jarang mendekatkan diri dengan Tuhannya, imannya lemah, pemikirannya sempit, dan beberapa cercaan atau hardirkannya yang negatif, tanpa pernah memikirkan betapa berat masalah yang dihadapinya seorang diri, melawan isi kepalanya yang terus dihantui perasaan bersalah dan berbagai masalah yang dihadapi. Terkadang, kita memang terlalu mudah menjudge tapi terlalu sulit berfikir dan peka.

            Kebanyakan dari kita merasa bahwa prilaku marah, kecewa dan sedih sebagai sikap yang tidak baik, secara absolut. Padahal seharusnya, kita membiarkan dia marah, menangis dan kecewa, agar tubuhnya bisa merespon dan dia tau caranya menanggapi perasaannya sendiri. Kita terlalu mudah mengatakan lemah pada orang yang menangis dan kecewa tanpa tau bahwa sikap kita lah yang salah, terlebih jika yang menangis adalah seorang laki-laki, stereotip yang terbangun pasti lemah, “laki-laki kok cengeng, gak jentel lu” ini adalah salah satu dari sekian banyak ungkapan yang sering di tujukan pada laki-laki yang kerap menangisi keadaan yang dihadapi.

            Menurut Jennifer Howard, Ph.D, nasihat untuk membaca buku atau berfikir positif yang mana menyuruh positive thinking setiap saat justru akan membuat seseorang merasa takut, sedih, sakit dan sendiri. Terus mencoba berfikir positif sehingga tidak realistis justru akan menjadi racun dan terasa palsu.

            Seberapa banyak orang yang kita suruh untuk positive thinking ? sehingga melahirkan orang-orang yang berpura-pura bahagia? Padahal seharusnya kita merespon dengan menjadi penyemangat dan berempati akan apa yang menimpa dirinya bukan malah menjadi Toxic Positivity.

            Organisasi Kesehatan Dunia(WHO, 2017a), menyatakan bahwa depresi dan kecemasan merupakan gangguan jiwa umum yang prevalensinya paling tinggi. Lebih dari 200 juta jiwa orang di seluruh duni (3,6 % dari populasi) menderita kecemasan. Sementara itu, penderita depresi sebanyak 322 juta jiwa di seluruh dunia (4,4% dari populasi) dan hampir separuhnya berasal dari wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Depresi merupakan contributor utama kematian akibat bunuh diri, yang mendekati 800,000 kejadian bunuh diri disetiap tahunnya.

            Dari paparan data WHO diatas, kita bisa menyadari bahwa depresi yang berujung pada kematian akibat bunuh diri merupakan masalah serius yang harus dibijaki dengan cermat dan tidak boleh selalu menyepelekan dengan bentuk shamming mental karena, kita tidak pernah tahu, seberapa berat beban yang kerap dirasakan oleh korban ketika, kita dengan mudahnya meleburkan debu shamming mental tersebut. Cobalah untuk tidak banyak melontarkan perintah yang bersifat Toxic Positivity tetapi lebih banyak untuk berfikir lebih dan berempati serta menyemangati agar, kita tidak menjadi bagian dari menambah beban masalah namun, menjadi inspirasi untuk membuatnya tidak terpuruk dalam keadaan depresi yang kerap menaunginya. Dari sini bisa pahamkan bahwa para korban depresi itu butuh empati dan penyemangat bukan toxic positivity, dan cobalah untuk lebih peka akan keadaan korban depresi dengan tidak mudah menjugde apalagi shamming mental akan prilaku yang dilakukannya. Karena, seseorang dapat bersikap atas sebab, bukan tanpa sebab. Tak mungkin ada abu, kalau tidak ada api.

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts