Hijrah-Cinta & Peradaban

Februari 01, 2021

 



(Coretan Rindu Peserta DAM & LID)
Zulkarnain Pina

Ternate, tengah kota yang ramai. Lalu lalang kendaraan tak kunjung usai, tentu gerak langkah juga tak henti. Begitulah, secara terus-menerus langkah manusia bersambung, bergerak mengalahkan sunyi sepi. Kita terbuai, hampir-hampir tak sadarkan diri. Kita, dimakan oleh zaman yang kita kehendaki sendiri. 

Hijrah. Begitu kata kolega (senasib dan sepenanggungan) saya. Hijrah untuk kebaikan dan perbaikan, untuk investasi besar masa yang akan datang, investasi peradaban. Tidak soal dari desa ke kota, kota ke desa, desa ke desa atau dari kota menuju kota. Yang pasti, gerak kita pada dan untuk perbaikan. 

Ternate ke Sanana. Di tengah perjalanan, di lautan yang luas, ikan-ikan kecil berterbangan, dipermukaan. Menikmati gelombang-gelombang kecil, berorkestra nan indah. Langit membiru, awan-awan menyelimuti tak karuan "mungkin" bertanda tinggi aktivitas ikan hari ini. Semoga para nelayan mendapat hasil yang cukup, Aamiin.

 Ini perjalanan cinta, pengabdian, kejayaan dan keabadian. Butuh ikhlas, sabar dan tawadhu. Berlatih untuk berperang melawan ketertindasan, melawan kesewenang-wenangan dan berperang melawan kebodohan.
 
Darul Arqom Madya (DAM), paketan Latihan Instruktur Dasar (LID) adalah tahap lanjut dari perkaderan inti di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. DAM sendiri, adalah madrasah kepemimpinan tahap ll dari Darul Arqam Dasar sebagai pengenal awal ber-Ikatan yang dalam kepentingan tertentu, ia sebagai prasyarat untuk melegitimasi kepentingan. Sedangkan LID, adalah syarat mutlak sebagai seorang pengelola madrasah Merah Maron ditingkat dasar (DAD). Dalam pada itu, ini semua soal cinta atas pengabdian, regenerasi peradaban. Kita tidak mesti merasa puas lalu berhenti pada tahap perkenalan. Sesungguhnya, perkenalan akan melahirkan rasa penasaran. Olehnya, kita akan rindu untuk terus bercumbu pada madrasah Merah Maron sebagai domain merealisasi kesemuanya itu. 

Kurang lebih jam 08.00, pulau Mangoli dan  Lifmatola nampak terlihat. Saya seraya berfikir dengan tanya dalam hati, "dari mana kapal hendak mengambil jalur menuju Sanana, Sula?''. Ooh, ternyata dari patahan sempit antara kedua pulau (Mangoli-Lifmatola) tersebut. Laut tidak lagi biru, deras arus terasa mendorong kecepatan kapal. Menantang.

Estetik. Antara Mangoli dan Lifmatola, terdapat beberapa anak pulau yang menarik perhatian termasuk Palau Pagama yang katanya dahulu termasuk dusun (kebun kelapa) warga. Sayangnya, sekarang tidak lagi tersisa satu pohon pun di sana akibat abrasi. Penyebabnya saya tidak terlalu tahu, tapi, kata orang-orang, disebabkan oleh tangan-tangan dan perilaku para pendosa. 

Mangoli, disini hikayat kapita-kapita pernah terjadi. Perjuangan topora PINA atas cintanya terhadap nene Sry Sula Umasangadji terjadi. Dan saya adalah generasi yang sekarang menjadi bukti. 

Saya nampak disambut hangat saat masuk gerbang (Mangoli-Lifmayola). Terasa saat batin mulai tenang dari rasa was-was, gelombang pun berhenti dan laut tenang bak jalanan aspal bahkan lantai rumah. 

Akhirnya, saya tiba di Sanana, Kepulauan Sula. Semoga mendapat banyak manfaat dari panjang perjalanan Hijrah Cinta dan Peradaban.. 

"Laa Haula Wala Kuwwata Illa Billah Hil'Alil Yul Adzim''

Sanana, 22/12/2020


You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts