Kolong Langit

Februari 19, 2021


 

Pada malam yang dingin, semesta bersimpuh akan hadirnya bintang yang gemerlap. Pada hujan yang riuh, banyak doa yang tenang. Pada hati yang pernah berkelana ada legam yang tenang. Semua bak kisah yang pernah tersungkur dalam harap, kecewa nampaknya bahasa lelah para pejuang komitmen dalam tawa. Ungkapan yang menjamur namun, hanyalah sampah. Pada kicauan burung, semilir angin meniupkan bahasa cinta yang hanya bisa dirasakan namun, tak banyak yang dapat menfenisikan makna dari cinta itu sendiri.

Entah berapa banyak orang yang datang, memilih singgah. Memilih menetap tanpa ada yang tahu. Semesta pun turut merangkai kisah dalam bingkai kota, yang disebut kenangan. Kota Kenangan, tak banyak yang mau berdamai dengannya. Telah lama, banyak yang enggan bertemu dan saling menyapa disana. Aku merasakan raungan kota Kenangan, menggema pun menyayat hingga ke ureter.

Pada suatu waktu, ada hati yang memilih berujar mantra pada hujan, berharap terkabulkan segala inginnya, pada Tuhan yang berada di Arsy. Ada sebuah bibir yang kerap berujar mantra yang sama. Menggema, dan meraung dalam sunyi, atmosfir yang membekukan merayap dan membantu menggiring mantra yang sama menuju kedudukan tertinggi(langit). Tak ada yang berubah, rupanya, waktu telah lama memendam harapan yang tersampaikan pada kolong langit.

Semua harap yang terkemas dalam mantra, pun akhirnya hanya diberikan andil bersanding, tidak untuk mendekap lebih jauh. Riuh para penduduk langit, menyapa semua mantra, kedua anak manusia, yang memilih bersama. Rupanya sang pemilik hati memiliki rencana yang begitu sakral nan misterius. Semua lenyap dalam letih. Mantra pun memilih duduk pada kota yang disebut Kenangan.

Denting jam terus berjalan, menyapa waktu tanpa permisi, memilih maju tanpa menoleh. Seorang anak manusia yang memilih merawat luka. Menangisi harapan dan meminta waktunya kembali. Tak ada yang berubah. Semua layaknya hujan, takkan pernah sama datangnya, walaupun jatuhnya sama-sama ke bumi.

Merawat luka sendirian, membuatnya terus menggerutu, menampik kenyataan bahwa dia adalah korban dari harap yang tak direstui semesta. Mungkinkah semua kegagalan berkat kecerobohannya?

Menutup rapat hatinya, pada setiap mata yang hadir. Menutup matanya pada setiap hati yang bertandang. Mungkinkah legam itu belum berakhir? Kini telah pincang semua cinta yang hadir, telah dikebumikan ketulusan pun semua pintu menuju hati masih tertutup rapat.

Dari kami, sepasang luka yang bercita-cita melupakan-

 


 

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts