Musim Dingin di Langit Mendoza
Februari 04, 2021 Pemandangan kota Mendoza
Malam, musim dingin mulai membekukan. Sebagian daerah selatan Mendoza telah dipenuhi salju. Lebih dari 2.000 m bagian Selatan memiliki lapisan salju yang lebih tebal dari daerah Utara. Dibagian Selatan ini memiliki udara yang hangat ketika tiba musim panas namun, ketika malam hari, suhu cenderung dingin, sedangkan suhu musim dingin cenderung sedang. Jika bentangan cuaca cerah(tetapi sangat berangin) bergantian dengan badai salju dapat menumpuk, memberikan ski yang sangat baik.
Ketika musim dingin kali ini, aku berusia genap 14 tahun. Aku duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP), aku berdomisili disebuah kota bagian selatan Mendoza, Argentina. Dengan rumah sederhana sebagai tempat pulang ternyaman, aku memiliki keluarga yang hangat. Seorang adik yang penuh kasih bernama Pichi Savio, dan aku sendiri diberi nama yang merupakan doa dari kedua orang tua ku, sebagai anak sulung. Andresa Irenee Joelliane, kata ayah, nama ku memiliki arti perempuan kuat dan berani, perempuan yang menyukai ketenangan dan kedamaian serta kesayangan yang dekat dengan Tuhan, luar biasa bukan? hehe.
Aku dan Pichi merupakan buah hati sepasang kekasih halal Javier Maximilliano dan wanita cantik Valle de La Rioja. Banyak yang bertanya mengapa nama ibu ku mirip dengan nama resmi kota Mendoza yang diberi oleh Pedro del Castillo, Nenek ku berkata sejak 2 Maret 1561, kota Mendoza mulai dibangun dan pada saat itu mendiang nenek moyang dari keluarga ibu ku mulai menetap pada bagian barat Argentina, yang dikenal dengan kota Mendoza.
Setiap pagi hari, aku bersama Pichi akan berangkat ke sekolah, diantar oleh ayah yang tak pernah membiarkan kami pergi tanpa kehadirannya. Ibu yang terbangun lebih awal, akan menyiapkan segala keperluan pekerjaan ayah serta sarapan pagi yang bernutrisi, begitu ucap ibu, setiap kali Nenek menyakan perihal aktivitas kami dipagi hari.
***
Bersama kedua sahabatku, aku sering bepergian ke salah satu warnet yang tak jauh dari rumahku. Disana kami mengerjakan beberapa tugas sekolah, membeli kebutuhan sekolah serta sesering mungkin melihat-lihat informasi tentang artis yang sedang membuat kami demam, hehe.
Setelah beberapa kali kami melakukan kebiasaan yang rutin dan sungguh terlihat kesungguhan yang kami mulai ketika menyelami dunia remaja. Mulai dari mengerjakan tugas bersama, les dan beberapa hal yang kami gemari pun, dilakukan bersama-sama.
Putri adalah salah seorang sahabat yang mana sering berbagi keluh kesah akan harinya. Pun, sebaliknya diriku. Kami memiliki hobi yang sama. Dikala musim dingin tiba, kami sering mengunjungi pegunungan Andes. Ketika pesona alam menjadi alasan kami untuk gemar bertamasya, kota kecil Mendoza juga menawarkan pemandangan yang tak kalah sempurna dari pegunungan Andes.
***
Suatu sore, aku dan Putri berjanji untuk bertemu dipersimpangan daerah pinggiran selatan kota Mendoza. Disana terlihat Putri bersama Stella. Mereka mulai melambaikan tangan, tanda bahwa mereka telah melihat kedatanganku. Selang beberapa menit kami memulai obrolan ringan, yang membahas beberapa hal yang akan dipersiapkan untuk camping. Putri mulai menguraikan segala kebutuhan yang wajib dibawa. Stella mulai merekap segala perlengkapan yang wajib dibawa. Setelah pembahasan tersebut selesai. Mereka mulai saling bertatapan. Oh My GOD, aku tau apa yang ada dibenak mereka. Mereka memiliki kekasih yang bersebelahan kelas dengan kami. Aku hanya tersenyum tanda paham. Mereka menawarkanku untuk dapat mengajak siapapun teman lain yang ingin diajak bersama. Aku menggeleng-geleng tanda tak ada siapapun.
Ketika diperjalanan pulang, banyak obrolan tak perlu yang dilontarkan oleh Putri, pun Stella. Aku yang tak pernah tertarik ditanya tentang orang yang selama ini ku kagumi, tiba-tiba saja muncul dalam benakku tentangnya. Namun, aku urungkan untuk menceritakan kepada kedua sahabatku itu. Aku selalu memikirkan bahwa segala yang berkaitan dengan perasaan itu bagian dari privasi, tanpa kompromi.
Aku mulai meraba ingatan itu, kala pertama aku melihatnya. Aku tak tahu persis waktu dan hari apa. Namun, yang ku tahu, ia orang pertama yang mengetuk pintu hatiku. Entah bagaimana bisa, aku tak dapat mendefinisikannya. Karena, yang ku tahu perkara hati yang berbuah cinta hanya bisa dirasakan, tanpa di definisikan. Dan aku hanya bisa merasakan, tanpa tahu mendefinisikannya.
***
Malam ini angin sepoi-sepoi, jalanan masih dipenuhi salju yang turun perlahan, dan malu-malu. Aku yang merasakan dingin lebih dari hari kemarin kembali ke warnet yang menjadi tempat biasa pertemuan hangat bersama kedua sahabatku. Sebelum akhirnya sampai pada tempat yang ingin dituju, aku meluangkan sedikit waktu untuk mampir ke rental novel yang amat ku gemari, salah satu dari beribu jenis buku, aku begitu jatuh cinta pada karya sastra murni yang satu ini. Beberapa buku telah ku serahkan pada admin rental, tinta hitam pun mengalir memenuhi baris-baris daftar peminjaman. Beberapa lembar uang recehan telah sampai pada tangan mungil sang admin, yang merupakan salah satu teman sekolahku dahulu di SD. Ia gadis muda yang tak lagi melanjutkan sekolah karena, biaya sekolah yang tak dapat disanggupi orang tuanya.
Setelah tiba, aku menutup payung dan membenahi posisi jaketku. Sejenak aku menatap ke dalam rentetan meja yang dipenuhi computer dan keyboard serta mouse. Disana, seseorang yang pernah hadir dalam serangkaian drama hari-hariku, memenuhi isi kepalaku, memenuhi mimpi indah ku dan laksana Arjuna dalam kisah Mahabharata yang pernah ku baca dari salah satu kitab yang dihadiahkan oleh seorang kerabat Ibu, dengan nama lain Ciptaning Mintaraga.
Putri dan Stella masih khusyuk di depan computer tanpa mengalihkan pandangan mereka. Aku yang tiba-tiba berada disamping mereka, membuat kaget keduanya, hingga tumpahlah beberapa tumbler yang dibawa oleh Stella. Di hadapanku Putri dan Stella bercerita tentang apa yang dialami tadi pagi di sekolah, tentang guru Matematika yang menyebalkan dan guru bahasa yang mulai mendengus ketika mereka lupa membawa beberapa karya sastra yang diperintahkan wajib membawa oleh sang guru yang tak mengenal negosiasi itu. Isi kepalaku masih melayang-melayang pada sang Ciptaning Mintaraga.
Setelah beberapa saat aku berada di hadapan computer, aku melihat-melihat beberapa akun media sosial teman-teman terdekatku. Lalu, sampailah aku pada akun media sosial seseorang yang selalu ingin ku kunjungi, hah dia, Mirco Nehuen bagus sekali arti namanya. Sekilas aku melihat tampilan tentangnya yang dipublish, rupanya ini adalah salah cara untuk ku agar dapat menemuinya. Walaupun ini dunia maya, tak mengapa, setidaknya aku mengetahuinya di dunia nyata.
***
Malam mulai larut, kaki gunung Andes rupanya memberikan udara yang lebih dingin dari biasanya. Aku sedang melakukan ritual sebelum tidur yakni, membaca buku dan menulis buku harianku. Tak pernah ada seorang pun yang tahu akan isi buku ini. Beberapa halaman telah dipenuhi oleh nama seorang yang tak lagi asing dalam isi kepala ku, Mirco Nehuen. Apakah diriku sedang baik-baik saja? Aku pun bertanya-tanya dalam hati. Rupanya ini adalah syndrome first love. Entah mengapa aku berani mendiagnosisnya sebagai syndrome first love. Mungkin symptom ini ku ketahui dari beberapa bacaan buku yang sering ku bawa dari rental.
Sebelum akhirnya aku benar-benar terlelap, beberapa bayangan bermunculan dalam kepalaku. Yah, beberapa kali wajah Mirco mulai bertandang. Semoga tak berlanjut dalam mimpi ku lagi. Ini benar-benar menyiksa, pekik ku sambil berusaha terlelap.
***
Semilir angin pada senja yang manis, beterbangan bulir pasir yang di ayunkan oleh beberapa anak, tampak senyum merekah di pipinya, rupanya mereka, anak-anak yang belum mengenal beban hidup. Tawanya polos, tanpa kebohongan, sedikitpun. Aku pun terbawa suasana senja kala itu. Mungkin ini sedikit mengiris relung yang dipenuhi rindu. Ah, senja memang tak baik untuk orang yang tekun merindu.
Kucuran tinta hitam mulai menari-menari pada lembaran-lembaran putih. Beberapa baris bermula, membentuk paragraf yang konsisten. Bagaikan rindu yang hadirnya masih konsisten. Aku tak tahu sepanjang mana usia rindu yang ku tekuni, pada sebuah nama yang selalu disemburkan oleh kenyataan bahwa aku tak pandai membayar rindu pada temu. Ah, sudahlah, mungkin ada saatnya aku akan membayarnya, namun bukan saat ini.
***
Sembilan tahun pun berlalu, aku tak kunjung membayar rindu yang pernah memporak-porandakan isi kepala ku. Aku tak tahu harus sampai kapan menyimpan semua cerita drama pada isi kepala yang pernah setekun itu merindui satu nama yang tak pernah bertemu pada sang pemilik nama. Gemericik hujanpun membangunkan ku yang terlelap di bangku teras rumah. Ah, rupany aku terlelap saat melahap isi novel yang baru-baru ini ku miliki.
Perjalanan menuju kamar tidur membuatku lagi-lagi memikirkan isi mimpi yang tak asing. Mungkinkah, aku kembali pada masa 12 tahun? Ketika bahagia bila melihat Mirco. Aku rupanya masih dihantui baying-bayang lama. Entah kemana pemilik bayangan itu. Aku tak lagi menemuinya. Harapan yang pernah ku buat untuk menemuinya pun mengatakan rindu yang pernah menderu dan menyergapku bersama kenangan melihatnya, sama sekali tak pernah terwujud. Rupanya, dahulu aku memilih menyimpannya dalam diam dan terus diam.
***
Malam kali ini memasuki musim panas. Aku menemui seorang kerabat yang tak jauh keberadaannya dari rumahku. Yah, tepatnya disamping warnet yang dulu sering menjadi persinggahan favorit ku. Ketika melewati warnet itu, semua kenangan kembali bertandang, apakah aku sedang memasuki kota yang disebut kenangan? Aku mengurungkan niat untuk menatap jendela yang sering ku telisik keberadaan seseorang dari sana. Aku takkan menemukannya lagi disana.
Kepulan asap cokelat hangat mulai merebak pada ruang bronchus. Ia yang mula-mula menundukkan wajahnya sejenak menikmati aroma cokelat, perlahan mulai mengangkat wajahnya. Tak banyak yang kami bicarakan, hanya beberapa hal yang harus diselesaikan. Beberapa pertanyaan tak mengenakkan mulai bermunculan diantara percakapan kami. Mulai dari siapa kekasihku sekarang, apa aktifitasku yang akan ku rencanakan setelah menyelesaikan studi akhir, dan kapan rencana nikah. Ini adalah pertanyaan yang memuakkan. Aku bergegas memasukan beberapa buku yang ku beberkan diatas meja, ku masukan ke dalam tas yang ku kenakan. Tanpa menunggu kelanjutan pertanyaannya, aku pun berpamitan pulang. Entah apa yang dirasakannya atas sikap dinginku. Aku tak peduli.
***
Setelah selangkah aku melewati areal parkir warnet, aku menemui bayangan serupa dia. Namun, sayangnya bukan sang pemilik bayangan yang ku inginkan. Aku tak tahu siapa, seorang pemuda sebaya Mirco saat ku temui di warnet. Aku tak tahu seperti apa wajahnya saat ini, aku mungkin tak lagi mengenalinya. Tak jarang aku merindui nya, bertanya-tanya apakah ia akan kembali disini? Apakah ia baik-baik saja? Dan bermunculan beberapa pertanyaan yang hadir tanpa ku rencanakan. Sungguh, ia tak lekang dari ingatanku. Apakah ada manusia di bumi ini yang sama seperti ku? Tekun merindui seorang, yang tak pernah tahu tentang ku? Mungkin kah aku makhluk aneh yang masih mengingat sang first love, yang entah berantah berada dibelahan bumi mana saat ini?
Terimakasih Tuhan, atas rasa yang penah ada. Tentang rindu yang mesti tenggelam dengan sendirinya. Disiksa oleh perasaan sendiri. Dan dikuatkan oleh doa sendiri. Semua itu penuh warna, antara sedih tapi senang juga, dia tak pernah tahu. Ake begitu senang tak ada yang tahu siapa first love ku. Tak ada yang tahu tentangku yang tekun merindui satu nama. Dan semua masih sama hingga sekarang.
0 comments