Perempuan yang Merawat Ingatan

Februari 18, 2021

 

 

Dok pribadi/Sandi

Ini adalah salah satu kisah yang akan kekal dalam isi kepala para perempuan yang berkisah, berkarya semasa mudanya. Ada letih, luka, sesak dan banyak cerita duka lainnya, sebelum akhirnya hari yang penuh tawa nan bahagia itu hadir. Bentuk ikhtiar, ikhlas dalam berlatih, pun pengorbanan yang tulus. Harapannya, Tuhan mengabulkan segala doa untuk hari yang dinanti. Tentang perempuan yang masih melakoni apa yang disukai, mendapatkan hidupnya, melalui waktunya melakukan hal-hal yang disukai. Termasuk hal yang satu ini.

Pada momen kali ini, tiga dari 5 orang jumlah penari tim Paduppa, hanya 2 orang termasuk diriku yang telah menarikan tariaan ini berkali-kali. Selebihnya merupakan anggota baru, yang penuh semangat. Kami pun mempersiapkan tarian ini jauh sebelum hari H. Dimana wkatu selama kurang lebih 3 bulan, kami menggunakannya dengan bijak. Berlatih dengan sepenuh hati, bersungguh-sungguh pun memperbanyak doa akan kesiapan kami pada hari H.

Dok pribadi/Sandi

Berbagai drama pun dilalui. Ketika latihan dan terasa lelah. Ketika, lelah namun, harus tetap berlatih. Tak jarang hujan pun mengguyur tanpa ampun ketika pergi dan pulang latihan. Gerimis seringkali menemani perjalanan kami saat akan berlatih. Petir dan gemuruh guntur kadang bersahutan ketika menyaksikan kami berlatih. Rasa kesal dan lelah yang datang dari mereka(penari baru) yang merasa susah atau tak cukup baik dalam memperagakan gerakan tarian ini. Namun, semua itu dapat kami tepis dengan nasihat yang mungkin tak cukup baik namun, dapat merubah rasa sesal menjadi percaya.

Setelah melalui drama saat berlatih, kami pun dihadapkan dengan beberapa ujian lagi. Hingga akhirnya H-1 kami pun dirundung rasa lelah, kantuk serta harus menunggu Ballrom yang akan digunakan pada saat gelada. Kami yang tengah datang lebih awal, harus menunggu tim dekorasi menyelesaikan pekerjaannya untuk kami gunakan bagian depan panggung sebagai tempat gelada. Tak tanggung-tanggung, kami  pun menunggu hingga pukul 02:50 pagi. Ketika tiba di slaah satu indekos temanku, akupun baru dapat terlelap pada pukul 04:00 WIT.

Ini bukan hal yang baru bagiku, terutama menari. Namun, ada yang baru dari beberapa sisi. Teman tim yang baru. Awalnya, tarian ini dibentuk tim dan dijadikan penari yang tak hanya menarikan tarian khas Bugis-Makassar pada kegiatan atau acara organisasi saja, setelah beberapa waktu, kami pun sering diundang untuk menarikan tarian khas Bugis ini pada beberapa acara resepsi pernikahan yang bertemakan adat Bugis. Hingga saat ini, aku masih melakoni peran sebagai penari pada acara adat pernikahan yang kerap berlangsung.


 


Tari Paduppa Bosara memiliki nilai budaya tersendiri, yakni sebagai tari penjemputan tamu para raja-raja terdahulu. Dimana tari ini menggambarkan penjemputan orang Bugis-Makassar jika kedatangan tamu yang menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan. Pada zaman dahulu tarian ini sering ditarikan untuk menjamu raja, menyambut tamu agung, pesta adat dan pesta perkawinan.

Sejak lahir dan dibesarkan pada budaya Jawa, aku sama sekali tak mengenal tarian Bugis atau khususnya Sulawesi Selatan. Ibu ku yang berasal dari Bone, Sulawesi Selatan sering memberitahu tentang budaya dari kampung halamannya. Setelah tumbuh dan banyak mengetahui budaya Jawa, aku pun lebih fasih melafalkan bahasa Jawa, sebagai alat komunikasi ku dengan sahabat serta teman-teman dan kalangan masyarakat di tempat tinggalku.

Bermula ketika aku pindah ke Ternate. Aku diajak oleh seorang teman untuk bergabung dalam organisasi kekeluargaan atau non profit. Jejak langkahku pertama di tanah kie raha ini, dimulai pada IKAMI(Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia) Sulsel(Sulawesi Selatan). Memulai segala langkah ku ke organisasi lainnya, dimulai dari sini. Ketika bergabung dengan IKAMI, aku banyak tahu tentang literatur budaya Sulsel serta diwaktu inilah aku kemudian memulai dunia baru, sebagai penari Paduppa, atau yang dikenal dengan tarian Paduppa Bosara.

Setelah kembali pada masa lalu, aku mulai meraba-raba, terakhir kali aku menarikan tarian Jawa yaitu, pada kelas IX. Hingga akhirnya aku menari lagi pada tahun 2017. Serangkaian gerakan pada tari Paduppa ini memiliki nilai tersendiri bagiku. Berbeda dengan tarian Maluku yang cenderung memiliki banyak lagu yang bisa digunakan, pun memberi aba-aba atau kode pada saat menarikan tarian tersebut, hal tersebut tidak berlaku pada tarian khas Bugis-Makassar yang satu ini. Pada tarian khas Bugis-Makassar penggunaan lagu telah diatur dan tidak bisa mencampuradukan dengan music lain, selain musik asli dari lagu tersebut. Pada tarian Paduppa tidak diperkenankan menggunakan aba-aba atau kode, seperti tarian dari Maluku kebanyakan. Semua penari tidak hanya menghafal gerakan tarian tetapi, harus menghafal music dan ketukan pada music yang menandakan bentuk gerakan yang harus dilakukan.

Sejak pertama kali, aku menarikan tarian Paduppa aku pun jatuh cinta pada setiap gerakannya. Dimana tangan serta lekuk tubuh yang digerakan lebih gemulai, ditaburi senyum manis yang gurih, melangkahkan kaki secara perlahan, tidak tergesa-gesa. Balutan sarung khas Bugis dan baju Bodo menambah nuansa budaya yang kerap terjaga dalam kepala. Tak lupa serangkaian bando, anting, gelang dan kalung menambahkan kecantikan baju bodo yang dikenakan. Warnanya yang tak redup, menyilaukan mata dikala terpaan cahaya menghampiri, kerlipan pernak-pernik baju yang memancarkan cahaya malu-malu namun, tetap terlihat elegan.



Terimakasih untuk semua waktu dan kesempatan yang dipercayakan padaku pun teman-teman tim untuk menari pada hari bahagia sebagai momen paling sakral. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah warahmah hingga Jannah-Nya.

 

 

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts