M. Kasim Arifin; Dalam Syair Kami Mendekapmu

Maret 07, 2021

 

 


pelataran Independensia
dok pribadi/Nia



Nia dan Ical
dok pribadi/Nia

            Ternate-Angin malam mulai merebak setiap sudut kota, membasuh kulit hingga meresap ke sum-sum tulang, bahkan ke otak. Mencoba menjaga keseimbangan udara yang mula-mula menghampiri dan memilih tinggal, ini tak mudah dikala larut malam tiba.

            Debur ombak mulai memecahkan kesunyian, menyambut kedatangan kami. Dari kejauhan, aku melihat beberapa orang yang telah lebih dulu tiba di tempat ini (Perpustakaan Independensia). Aku dan Ical pun menghampiri sosok yang menanti kedatangan kami, sejak tadi. Seperti biasa, aku dan Ical menyalami tangannya, ia pun mengukir senyum pada garis wajahnya yang senja. Kulitnya yang tak lagi kencang, menandakan usianya yang tak lagi muda namun, semangatnya tetap sama, sejak awal aku mengenalnya. Ketika ku salami tangannya, ia pun memelukku, layaknya seorang ayah yang sedang membayar rindu.

            Ayah Ari, begitu aku menyapanya. Ia adalah sahabat ayahku dahulu, jauh sebelum aku dilahirkan. Dahulu, ia sering berkunjung ke rumah kami, di subaim, tempat ayahku bertugas. Ia begitu menyayangiku, layaknya seorang ayah. Selain bertukar kabar, ia selalu menanyakan perkembangan akademik pun segala aktifitasku, yang sering kali membuatnya pusing dengan waktu tidurku yang tidak lagi teratur, hehe.

Ical,Ayah Ari dan Nia
dok pribadi/Nia

***

            Ketika malam jum’at, aku menuju ke café, tempat dimana aku biasanya berlatih menari, bersama teman-temanku. Di sana, aku bertemu ayah Ari dan Ical juga Zain yang merupakan sahabatku. Awalnya aku berbincang-bincang dengan Zain. Kemudian, disusul oleh ayah Ari dan juga Ical. Mereka pun menyambutku dengan senyum hangat khasnya. Aku mulai menyalami tangan ayah, ia memelukku dan bertanya tentang aktifitasku, lagi-lagi ia masih mendengar kabarku yang sibuk dengan beberapa hal, ia menyarankanku untuk lebih menyayangi tubuhku.

            Setelah aku berlatih menari, sekitar kurang lebih 1 jam lamanya, ayah Ari dan Ical menghampiriku, disusul oleh Zain. Aku pun diminta oleh ayah membacakan beberapa bait awal puisi. Ini adalah suatu syair untuk petani di Waimital, karya Taufik Ismail, tentang seorang mahasiswa IPB(Institut Pertanian Bogor)  yang mengikuti KKN di desa Waimital, Seram, Maluku. Muhammad Kasim Arifin namanya, seorang pemuda yang tak lagi kembali, 15 tahun lamanya ia melakukan segala aktifitas tani di Waimital. Sungguh, ini sebuah kemuliaan yang tak mengandung ria.

            Setelah membaca bait demi bait. Aku pun diberi tugas membacakan beberapa bagian, dari 5 bagian puisi. Aku dan Ical dibagi kedalam baris-baris yang dipilihkan oleh ayah Ari. Disusul dengan penentuan musik dan beberapa teman-teman kami yang memainkan peranannya, mulai dari bermain gitar, harmonica dan jimbe. Kami pun mulai berlatih, dengan alunan syahdu nan tenang diawal dan mulai meningga pada pertengahan dengan nada musik yang kian meninggi pula. Dan diakhiri dengan irama yang kian rendah menjemput penghujung puisi. Setelah berlatih dan mencari kecocokan nada untuk masing-masing alat musik dengan pembacaan puisi, semua pun terlihat bersemangat, menyambut hari H.

***

            Ketika sore kelabu itu datang, aku pun memilih membenamkan diri dalam sunyi, terlelap dalam waktu yang tak seharusnya namun, tak ada yang ada yang salah karena, sore masih diguyur hujan. Ketika aku terbangun, hujan pun telah reda. Meninggalkan beberapa genangan pada tanah-tanah yang tak lagi mampu membendung air hujan yang memenuhi ruang-ruang kosong.

            Ketika bersiap-bersiap hendak ke kampus. Aku dikabarkan oleh seorang sahabat, yang juga memainkan gitar dan harmonica nanti, dikala pertunjukan musikalisasi puisi, bersama kami. Mas Dedi, namanya. Aku pun membalas pesan singkatnya, dan berlalu ke kampus. Perjalanan ke kampus selain lebih singkat karena keberadaanku sebelumnya pada salah satu kediaman teman, aku pun mengendarai kendaraan lebih lambat. Menikmati sore yang kelabu, beberapa pohon terlihat masih basah, jalanan lebih licin dari biasanya, tandanya aku perlu menikmati perjalanan dengan ritme yang lebih lambat. Aku mencoba menikmati setiap aktifitasku, dengan penuh cinta, melakukan hal-hal yang ku gemari, mencoba produktif sebisa yang ku inginkan. Ini tentang masa mudaku, aku yang ingin mengukir lebih banyak sejarah dengan hal-hal yang selalu ingin ku pelajari. Aku yakin, setiap orang memiliki rencana hidup hari ini yang telah direncanakan jauh sebelum hari ini. Aku pun demikian.

            Aku pun tiba di kampus B Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. Kampus yang sebentar lagi menjadi bagian dari kota kenangan yang akan ku kenang, sebagai rumah yang pernah menyajikan pengetahuan. Aku menyambangi sekret UKM Jurnalistik, dimana letaknya adalah dibagian depan bangunan kampus B, disamping gedung LP3M. Setelah aku dan seorang teman mulai melangkahkan kaki menuju sekret, aku melihat beberapa juniorku yang telah berada di dalam sekret. Seperti biasa, kami saling bersalaman, pun menanyakan kabar dan kegiatan hari ini. Diawali dengan beberapa canda dan tawa, kami pun mulai membuka rapat yang telah diagendakan sebelumnya. Dengan beberapa penawaran yang mengalami persetujuan dan beberapa argument yang menguatkan argument lainnya, kami pun akhirnya sampai pada penghujung rapat, dengan pembacaan hasil rapat oleh sekertaris panitia, rapat pun usai.

            Dengan berakhirnya rapat, smartphoneku kembali berdering. Pesan dari Mas Dedi, kembali melaju pada laman WhatsApp milikku. Dengan mempersiapkan beberapa barang bawaanku, aku pun berpamitan dengan para juniorku dan berlalu untuk menjemput Mas dedi yang sedang berada di kelurahan Kastela. Ia yang sedang melakukan sosialisasi tentang reptil di kelurahan tersebut, sembari mencari buaya, yang akhir-akhir ini meresahkan warga setempat karena, kehadirannya.

            Tak lama kemudian, aku pun tiba pada kelurahan tersebut. Dari kejauhan, tampak Mas Dedi, bersama beberapa teman-temannya dari komunitas reptil yang menuju ke jalan utama, dari bagian pantai diarah Timur jalan. Tanpa menunggu lagi, kami pun melaju kea rah utara kota. Waktu telah menunjukan 18:40 WIT, dengan terus memantau waktu, akupun kembali ke kost untuk bersiap-siap ke Independensia bersama Ical. Mas Dedi, yang sempat hilang kabar karena, terjadi pemadaman listrik di kelurahan Jati, tempatnya akhirnya menyusul kami sendirian ke Independensia, di kelurahan Sasa.

            ***

            Pada saat acara bedah tokoh akan dimulai, dari kejauhan tampak Mas dedi yang membawa beberapa alat music, dibantu oleh Ical dan Zain, mulai melangkahkan kaki di pelataran Independensia, yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya para undangan dan panggung tempat para Narasumber berada dan juga bersebelahan dengan para pemain musik, yang mana salah satunya adalah Mas Dedi.

            Dengan beberapa perubahan teknis yang tiba-tiba terjadi, kami pun sigap dalam menyikapi pristiwa yang lumrah semacam ini. Mental kami memang jauh sudah terlatih untuk hal-hal demikian, Ah ini memang masalah yang seringkali muncul ke permukaan. Seperti biasa, definisi masalahku masih sama, “adanya kesenjangan, antara harapan dan kenyataan”. Jadi, sering-seringlah untuk siap dipatahkan ekspektasinya, dan ikhlas menerimanya, hehe.

            Setelah semua pemain alat musik telah menempati tempat yang disediakan, aku pun bersama Ical, bersiap-siap menuju kea rah samping panggung. Dimulai dengan aku yang terlebih dahulu membuka acara pembacaan syair, yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh sang MC (Master of Ceremony). Dengan menikmati irama music yang mengantarkan bait awal syair, aku pun mulai membacakan syair tersebut. Disusul dengan Ical yang mulai membaca bagian ke II syair. Sejurus kemudian, kami pun saling bersahut-sahutan membacakan bagian II seperti yang telah dititahkan oleh ayah. Hingga akhirnya, kami pun tiba dipenghujung syair, dengan musik yang terus mengiringi kami menuju akhir, yang terus dilunakkan oleh alunan ritme yang bersahaja. Inilah bagian-bagian dari mendramatisasikan keadaan yang anggun nan tegas dengan sisi puncak syair yang merongrong menampilkan luapan emosi. Lalu, semua kembali ditepis oleh ritme yang kian rendah, penyelesalan pun pengakuan yang begitu syahdu disisipi emosi yang bertalu-talu. Dengan bersama-sama mengakhiri syair pun dekapan dalam doa yang senantiasa kami panjatkan, kami pun mengakhirinya dengan salam dan meninggalkan panggung yang sebentar lagi mulai beranjak ke acara selanjutnya.

            Bersama Ical, Mas Dedi pun Zain, kami berempat mengambil posisi pada baris kedua, dengan kursi yang berdampingan satu sama lain, menikmati bedah tokoh yang disampaikan oleh beberapa pemateri hebat, yang telah hadir didepan kami. Beberapa pemateri tersebut, diantaranya: ada ayah Ari sendiri, yang memiliki nama lengkap Zainuddin M. Arie, ayah Ari sendiri dikenal sebagai, Pekerja Seni/Seniman dan Pemerhati Budaya, disusul oleh pemateri kedua, Bapak Darsis Humah atau yang dikenal dengan Mantan Wakil Rektor IAIN Ternate dan yang terakhir ada bapak Abdul Kadir Kamaludin sebagai Dekan Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate. Kolaborasi yang luar biasa, dari ketiga tokoh yang membersamai kami pada malam hari ini.

                                                                    dok pribadi/Nia

            Tak hanya dengan ketiga sahabatku, Mas Dedi, Zain dan Ical. Pada mala mini pun, aku bertemu banyak kerabat pun sahabat yang mengahdiri undangan terbuka ini. Beberapa teman dan sahabat aktivis yang mana kami pernah terlibat dalam beberapa kegiatan, dan akhirnya terpisah oleh kesibukan masing-masing, beberapa orang-orang hebat para penikmat sastra dan seni yang mana kami pernah berada di panggung yang sama. Rasanya, mala mini tak hanya sekedar undangan menghadiri acara bedah tokoh namun, tempat reuniku bersama orang-orang terdekat yang kian dipisahkan oleh dunia kami saat ini.

            Malam semakin larut, jarum jam terus melaju ke sisi kanan. Tak ada yang dapat menghentikan waktu. Kami terus saja dijejali udara yang membekukan oleh alam. Dahan yang kian terkibas angin mulai menerbangkan beberapa bagiannya. Debur ombak mulai terdengar sayup. Udara yang semakin mengegoroti bagian kulit terus saja dibaluti oleh apapun yang dapat menghadangnya. Aku yang terlupa membawa jaket menyesali kecerobohanku. Tanganku terus saja berada pada sisi depan, sebagai tanda bahwa aku sedang tak bermurah hati dengan angin malam yang mempertemukan kedua sisi angin, darat dan laut.

            Setelah serangkaian acara selesai. Kami pun memasuki ruangan, lantai 1 perpustakaan Independensia. Dengan beberapa teman kami melakukan sesi foto bersama, sebagai dokumentasi atau bukti kami pernah berada pada ruang yang sama. Sama-sama dipertemukan oleh niat yang sama, yakni menghadiri ruang-ruang kajian ilmu. Ketika, berakhirnya sesi foto yang kami inginkan, aku bersama Mas Dedi dan ayah membuka obrolan sebentar tentang beberapa hal yang hendak ditanyakan oleh Mas Dedi yang mana ayah pun menjawab dengan beberapa ilustrasi sederhana, ini sedikit membantu menjawab keresahan serta dilemma akan beberapa hal tentang sejarah di bumi kieraha ini. Setelah kami merasa cukup, dengan waktu yang kian larut dan ayah yang harus beristirahat, kami pun berpamitan pada beberapa teman dan sahabat sekalian yang masih berada pada pelataran Independensia. Ketiga kendaraan beroda 2 itu pun melaju secara bersama-sama, perlahan hingga tibalah kami pada tempat peristirahatan masing-masing. Semoga banyak kedamaian yang membalut hati kami. Terlelap dengan hati yang bersih, tanpa dendam, amarah pun dengki adalah salah satu alasan manusia mendapat tempat di surga Allah azza wa jalla.

dok pribadi/Nia

            Aku mencintai sasra. Sejak usiaku genap 10 tahun. Aku mulai menuliskan beberapa puisi, sebagai bentuk refleksi emosi dan luapan perasaan yang sedang menghampiriku. Tak hanya puisi, Cerpen dan Novel pun menjadi candu ketika aku berusia 10 tahun. Aku menganggap seni mulai dari musik, rupa dan sastra sekalipun merupakan suatu bentuk alat komunikasi yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk yang lebih indah, dengan kemampuan seni yang dimiliki. Hingga saat ini, aku selalu mengungkapkan segala keresahan pun rasa suka cita melalui beberapa tulisanku diplatfrom pribadiku seperti di blog ini sridaniaambar.com, atau di instagram milikku @sridania_ambar.


Ternate, 06 Maret 2021

           

 

           

           

           

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts