Memaknai Kematian
Maret 21, 2021
Memaknai kematian.
Jika hidup hanyalah sementara, bagaimana dengan akhir tubuh ini? Bagaimana dengan cerita tentang dunia yang kita lalui?
Yah, semua hanya akan berakhir sebagai kenangan yang dirindukan.
TERNATE-
Ini adalah kisah tentang
rasa yang kaya akan cinta. Tentang rindu yang akan membuncah dan tentang karya
yang tak mengenal usia. Masih percaya, bahwa rasa cinta itu tak bersyarat? Pun
tanpa alasan yang absolut? Mari kita telisik wajah yang akan ditampilkan pada
panggung seni. Jika cinta masih dimaknai dengan beberapa indikator untuk
mengukur cinta maka, itu namanya kalkulasi, bukan cinta. Karena, cinta tak
dapat dimaknai dengan beberapa alasan.
Bermula ketika, saya mengenal dunia
seni pada pertengahan tahun 2017, dari seorang seniman yang begitu gagah,
melebihi kekuatan tubuhnya yang telah direnggut usia. Semangatnya dan cintanya
yang kaya membuat saya tak dapat mendefinisikannya dengan kata, hanya bisa
dirasa. Karena, seni membuat kita lebih banyak menggunakan rasa, memperhalus
perasaan pun di depan seni, semua sama.
Zainuddin M. Arie, begitu
orang-orang mengenal namanya. Nama yang selalu harum dan semerbak wanginya
menjalar pada seantero tempat, bahkan yang tak pernah ku tahu sekalipun.
Indonesia dan bahkan pada sudut pulau yang tak pernah ku jamah sebelumnya.
Banyak orang mengetahuinya, tidak hanya yang pernah menemuinya, pun yang belum
pernah menemuinya. Semua karena, karyanya. Harum namanya, semilir karya
menerbangkan namanya pada seantero tempat-tempat yang memaknai karyanya,
melalui lorong-lorong jarak, merongrong maknanya pada panggung seni. Syahdu,
terisak dan lantang dibacakan karyanya pada hadapan manusia yang bertandang,
menantikan sajian seni yang jatuh dari isi kepala dan debur tinta yang menari
diatas kertasnya.
***
Pada waktu sebelumnya, aku mengenal
seni melalui ayah Arie, dengan sikap dan keteguhan hatinya. Membuatku
terpanggil dan jatuh dalam seni, menicntai secara dalam dan mendarah daging.
Tak ada yang salah, sebagai ayah keduaku, beliau adalah figur yang begitu
sangat aku syukuri, sebagai pemberian Tuhan. Dengan didikannya yang keras
namun, penuh cinta, tak ada kata yang dapat melukiskan, betapa aku mengagumi
pun menyanyanginya dalam waktu yang bersamaan.
Ini adalah teater yang diadaptasi
dari puisi ayah. Teater kedua yang ku mainkan bersama teman-teman. Jika teater
dapat disajikan sebagai hidangan yang lezat maka, segala bumbu dan racikannya,
berasal dari tangan ayah, berkat isi kepalanya. Ini adalah salah satu bukti
nyata bahwa, seni bukan hanya milik kaum muda saja, semangat tak ditentukan oleh usia
dan produktifitas bukanlah soal kekuatan namun, semua ini tentang rasa cinta
yang kaya, dan cinta memanglah tanpa alasan. Jika, saat ini aku pun ditanya
tentang cinta ku terhadap seni, mungkin aku bingung juga untuk memberi tahu
alasannya karena, semua mengalir bagaikan air.
Ketika memainkan teater yang
terlihat indah dengan nilai estetik yang tinggi atas karya yang perlu
diapresiasi, kucuran keringat saat berlatih tentu menentukan baik tidaknya,
pentas pada malam hari ini. Beberapa hal teknis yang kemudian kami adopsi
berasal dari ayah. Tak ada alasan untuk kami berlatih sendirian, selalu ada
ayah yang kerap mendampingi pun membantu mengatur komposisi pemain dan beberapa
hal teknis yang tak semua orang memahami itu. Tanpa pamrih semua dilakukan
dengan pengorbanan waktu yang tak ada tandingannya.
***
Pada sore hari yang cerah, aku yang
baru terbangun dari tidur siang yang diselimuti rasa lelah pun kantuk yang luar
biasa, akibat dari menjalani serangkaian prosesi ujian kenaikan tingkat Karate
Shotokai, membuat ku terlelap tanpa disadari. Ketika, aku terbangun, telah
berhamburan pesan dari beberapa orang terdekat, termasuk ayah salah satunya.
Seketika, aku teringat, hari ini kami akan pentas teaterikal pada dua tempat berbeda.
Tanpa menunggu lama, akupun bergegas meraih handuk yang tergantung pada dinding
kamar, dan segera mandi.
Ketika, tiba pada tempat yang telah
ditunjukkan oleh ayah sebelumnya, aku menemui teman-temanku yang biasanya
berlatih teater bersama, mereka telah berada disana terlebih dahulu. Aku yang
sedang duduk dan mengatur langkahku pun ingatanku, yang masih belum stabil,
ayah mendatangiku, memberikanku sebuah buku yang berisi karyanya, dan memintaku
membacakan puisi pada kegiatan “Bincang Perempuan dan Seni” yang saat itu
sedang berlangsung. Oh Tuhan, ini begitu tiba-tiba tanpa direncanakan, sungguh
inilah pendidikan mental yang sesungguhnya. Aku pun meraih buku tersebut dari
tangan ayah, membuka lembar demi lembar dan memilih salah satu puisi yang menurutku
dapat dipertanggung jawabkan, mengapa aku memilih puisi tersebut dari sekian
banyak puisi dalam buku tersebut. Setelah dipersilahkan, aku pun membacanya,
dengan percikan perasaan, cinta dan emosi kian meluruh dalam puisi yang ku
senandungkan.
Pada sore tersebut, aku pun
bersyukur dipertemukan dengan dua sosok wanita yang begitu luar biasa, yang
satu memiliki cinta terhadap seni dalam sastra dan yang satunya memiliki latar belakang seni
yang tinggi dalam bidang sketsa/gambar. Ketika, kegiatan usai dan
bincang-bincang antar kami bertiga pun berlanjut, dan berakhir saling bertukar
kontak WhatsApp.
***
Tibalah malam yang dinanti, ketika
kami mulai memenuhi pelataran perpustakaan Independensia. Ini adalah kali
ketiga, aku mendatangi tempat ini. Seperti biasa sebelum acara dimulai kami
mempersiapkan beberapa hal teknis yang kelak akan berguna ketika, kami
mementaskan teaterikal puisi. Setelah, pengaturan posisi dan beberapa hal
teknis sudah menjadi bayang-bayang yang kemudian akan diaplikasikan, kami pun
kemudian mengolah kembali ingatan akan naskah dan gestur yang akan kami
perankan.
Ketika MC (Master of Ceremony) telah mempersilahkan kami untuk mengambil
posisi pada panggung teater yang telah disediakan, kami pun mulai bergegas
mengatur posisi dan langkah demi langkah, yang mirip zombie ketika memenuhi panggung. Para penonton yang belum sempat
berimajinasi dibuat kaget oleh gerakan kami yang terkesan horror. Perjalanan
kami yang layaknya zombie dengan
tangan saling bertumpu dan berdekap di dada, menggambarkan orang yang telah
meninggal.
Dengan mimik wajah yang tegas, tak
ada senyuman dan gerakan yang mengontrol adrenalin, serangkaian kata-kata pun
terlantun dari bibir kami dengan lantang. Kemudian, disusul dengan kata-kata
yang menuai isakan, sedih dan begitu mengejutkan ketika, kami perlahan hening.
Lalu, kembali berkata dalam tempo yang meninggi lalu menghempaskannya dengan
tegas. Terlihat wajah penonton yang serentak dibuat kaget oleh aksi kami.
Inilah yang namanya keberhasilan dalam menghayati peran.
Setelah teater bekisah tentang
kehilangan. Dan semua pergi. Saat itu pula, bagian dimana sang mayit dibawa ke
hadapan penonton. Aku yang telah mengganti busana dengan seba-serbi berwarna
putih, kembali memasuki panggung dengan diiringi musik, aku pun bernari-nari, hingga
ke hadapan sang mayit yang telah berada di hadapanku. Saat menatap nas sang
mayit, aku pun mulai merapalkan puisi yang bermakna mantra dalam memberi
ingatan pada makhluk yang bernama manusia. Dengan wajah yang memiliki berbagai
rasa ngeri dan bercampur aduk dengan bulu kuduk yang semakin meninggi, aku
melihatnya dari sekelompok manusia dihadapanku. Apakah mereka pun memaknai
kematian dan puisi yang ku lantunkan? Semoga mantra ini terus melekat pada
setiap sisi otak kalian, bahwa sesungguhnya, kematian itu, memang benar adanya.
Ternate, 21
Maret 2021
0 comments