Merekam Jejak Udara Laut
Maret 01, 2021
Aktivitas
hari ini ku jalani sekenanya. Mengingat aku adalah mahasiswa tingkat akhir yang
tak lagi dipusingkan oleh serangkaian mata kuliah. Karena, telah berakhir
adanya. Hanya serangkaian revisi laporan magang yang masih mengganggu tidur
siangku. Pun proposal yang masih sedang ku tekuni demi kenyamanan diri dari
pertanyaan “kapan wisuda?” biasanya pertanyaan ini hadir dari beberapa jenis
manusia yang tak pernah tahu perjuangan kita menuju ke pintu akhir alias
wisudah ini, manusia memang lucu, dunia bak panggung sandiwara. Eh, heheh.
Siang
ini terik matahari sedang tidak tanggung-tanggungnya bersinar. Aku dan Mas Dedi
melalui jalanan kota yang ramai dengan kendaraan beroda dua dan empat. Kami
akan pergi ke salah satu pasar yang terletak di kelurahan Bastiong. Beberapa
catatan bahan makanan telah dipersiapkan, panas tak menjadi penghalang kami
untuk menemukan apa yang dibutuhkan. Ketika memasuki pasar, riuh suara penjual
yang menjajakan bahan makanan hingga perlengkapan mandi dan sebangsanya. Kami
terus saja fokus pada beberapa kebutuhan yang kami inginkan. Setelah menemukan
beberapa bahan makanan, kami harus berpindah lokasi pasar, ke arah tempat
penjualan ikan. Di sana, kami menemukan ikan yang pas untuk disantap pada siang
ini. Saat ini, ikan sedang mengalami kenaikan harga karena, dipengaruhi oleh
cuaca yang sedang tidak ramah, dan bulan yang sedang bertandang dengan sosoknya
yang cantik, membuat para ikan enggan menampakkan diri seperti biasanya. Hal
ini membuat para nelayan dan sekutunya lebih sulit memangsa ikan di laut,
hingga mempengaruhi harga Ikan di pasar yang melambung tinggi, dari biasanya.
Setelah
misi kami di pasar telah usai. Perjalanan kami pun dilanjutkan, bukan telah
selesai, melainkan kami akan bertandang ke area pasar kota baru, untuk mencari
beberapa bahan yang tidak tersedia di pasar Bastiong ini. Perjalanan pun
menjadi lebih rileks dengan memandangi gunung pada sisi kiri dan laut pada sisi
kanan. Inilah pemandangan, pun aroma laut yang selalu memenuhi isi kepala. Tak
pernah lekang dari ingatan, bagaimana cantiknya laut yang disuguhi pemandangan
gunung di depan mata. Kicauan burung, pun gemuruh suara anak-anak yang sedang
berenang di tepian pantai, menjadi irama alam paling menakjubkan ditengah
keramaian kota. Kulit yang terlihat mengkilap oleh bantuan sinar matahari yang
menembus air laut dan memantulkan cahaya yang kadang menyilaukan mata.
Setelah
melewati beberapa penjual makanan pada sisi kanan jalan, kami memutuskan untuk
mampir ke salah satu kedai yang menjajakan kelapa muda. Setiap hari kedai yang
ukurannya mini ini selalu memenuhi sisi kanan dan kiri jalanan, bermacam-macam
aneka jajanan yang dijual, mulai dari kelapa muda, hingga pentolan dan aneka
hidangan lainnya yang menggugah selera.
Pada
salah satu kedai, kami pun berhenti. Kami sengaja memilih kedai ini sebagai
tempat peristirahatan dan menikmati kelapa muda serta makanan ringan yang
dijajakan oleh seorang pedagang roda dua. Beberapa kedai kelapa muda yang kami
lewati tak lagi memiliki persedian kelapa muda dengan isinya yang baik. Hingga
akhirnya, kedai inilah yang dipilih karena, masih menyediakan kelapa muda
dengan usia yang menjanjikan memiliki isi yang bagus.
Sejurus
kemudian, aku dikagetkan oleh kehadiran Mas Dedi di hadapan ku, dengan tangan
yang dipenuhi dengan piring yang berukuran kecil dan telah penuh terisi oleh
pentolan daging ikan yang rada alot, dilengkapi saus kacang pun cabai. Setelah
menerima piring dari tangan Mas Dedi, akupun kembali ditinggalkan sebentar,
untuk mengambil piring yang berisi pentolan lagi untuk dilahap oleh Mas Dedi.
Rupanya, ia tahu aku sedang menikmati alam dengan caraku, merekam seluruh
kejadian ini dalam kepalaku. Aku memang cenderung gemar merekam segala yang ku
alami di dalam kepala, dan tak jarang tertuang dalam lembar-lembar putih di Ms-word .
Ini
adalah bagian dari cara ku mengabadikan, menyampaikan dan meluapkan kekesalan.
Dengan menulis, aku merasa tidak dihakimi oleh keadaan. Aku begitu menyukai
keheningan, bukan tak suka bertemu dengan kerabat pun sahabat. Ini tentang
caraku menikmati setiap hal yang ku anggap menggugah jiwa. Aku diam, dan
memandangi sekitar, bukan berarti aku sedang melamun dan stres. Semua itu
terjadi, atas kehendak ku. Merekam segala kejadian di sekitarku. Jika stres aku
akan tidur, dengan durasi yang sungguh tak normal. Jadi, bisa kan, membedakan
melamun karena, stres dan merekam kejadian sekitar dengan keheningan? Aku tidak
aneh. Aku hanya berbeda. Jika perbedaan itu indah, untuk apa kita harus
seragam? Mari saling mendukung pun mencintai setiap cara orang lain dalam
menyikapi keadaan sekitar, dan dirinya.
Persinggahan
kami ini, dilakukan sekitar kurang lebih 25 menit. Aku mulai bercakap-cakap
dengan Mas Dedi. Beberapa hal telah kami lalui dalam pembahasan. Aku menatap
sekelilingku. Aku mengamati setiap aksen yang keluar dari mulut mereka.
Rupanya, mereka berasal dari luar pulau Ternate ini. Aku mengenali wanita paruh
baya, dengan ciri khas wajahnya, cara berbicaranya pun menanggapi keadaan,
sepertinya ia berasal dari daerah Tobelo atau Halmahera Utara. Bentuk wajah,
tutur bahasa tak lepas dari identitas daerah, sungguh luar biasa. Aku jadi
teringat rumah di Tobelo. Serasa, sedang berada di Tobelo, bertemu sanak
keluarga yang memilih berdomisili di kabupaten Halmahera Utara ini sejak nenek
dan saudara-saudaranya berlayar dan berdagang dari Bone ke Tobelo. Beberapa
dari kami, merasa telah menjadi bagian dari daerah Tobelo itu sendiri. Secara
tidak langsung, Tobelo telah membantu menunjang perekonomian keluarga kami pun
beberapa bagian harta dari nenek hingga paman dan keluarga lainnya yang dibeli
atas keringat yang bercucuran di tanah Tobelo.
Sampailah
kami pada waktu yang mendekati Dzuhur. Aku dan Mas Dedi dibantu Jo yang
merupakan sahabat kami juga, menyelesaikan misi selanjutnya yakni, memasak
makanan yang telah menjadi catatan. Misi ini berjalan dengan lancar seperti
yang diharapkan. Setelah memotong sayur-sayur yang hendak dikukus, membuat
sambel pecel, menggoreng ikan pun menanak nasi, kami pun mempersiapkan makan
siang yang telah siap dihidangkan. Aku, Mas Dedi dan Jo, memilih menyatap makan
siang sambil mendengarkan senandung lagu yang berasal dari pulau Jawa, tempat
asal Mas Dedi.
Terkadang
bahagia itu menjadi pilihan. Bahagia yang sederhana, tak perlu menggunakan ego
dan terus memupuk cinta. Tak ada yang sulit dari esensi bahagia. Terkadang aku
sering memikirkan tentang kita di masa tua, apakah kita akan tetap menjadi tua
yang menyenangkan seperti ini? Seperti Jo, yang gemar berlama-lama dengan
bukunya, dan selalu ceria dan gemar mengganggu aku dan Indah yang juga sahabat
kami yang tak kalah lucunya dari Jo. Mas Dedi, dengan keramahan, rasa kasihnya
yang dibalut kejahilan yang berniat mengganggu namun, tak serius. Tentang kedua
sahabat lelaki yang sering membuatku terkekeh dan jahil dalam waktu bersamaan.
Semoga segala yang pernah kita lalui bersama menjadi ingatan dihari tua yang
bisa kita bagi pada anak-anak kita, yang mana tentang ilmu, kebersamaan, saling
mengasihi dan bahagia dapat kita lakukan hanya bersama orang-orang yang mau
membunuh ego dan menumbuhkan cinta bersama kita. Seperti kita, yang tak pernah
memupuk ego dikala bersama.
1 comments
Begitu
BalasHapus