Tuhan, Mengapa Harus Aku?

April 18, 2021




            Setelah menatap dedaunan yang jatuh dengan begitu pasrah, menatap angin yang saling berlomba-lomba menghantam pohon serta dahan dan sekitarnya, masih saja ada tanya yang tersisa dari sepotong ngilu yang merebak pada seantero kepala yang memilih mengalah pada sepertiga malam.

            Tanpa ku sadari, bulir-bulir hujan yang hinggap pada sisi rambut bagian depan telah penuh. Kemudian, menetes melalui juntaian rambut yang telah lama ku biarkan tergerai. Gemuruh guntur saling bersahut-sahutan, petir kian menampakkan wujudnya yang menyala-nyala, membuatku tercekat dan memilih kembali. Apa yang ku cari dari pristiwa sore yang menjadi tatapan kosong dan nanar? Mungkinkah lelah dan kehampaan sedang menggerogoti ruang hatiku?

            Aku terus saja menyusuri jalan menuju pulang. Menatap sekitar dengan rasa yang tak lagi ku tahu namanya, melihat beberapa mata yang menatapku penuh iba dan beberapa dengan kebingunan yang berusaha dijawab sekenanya. Aku bukan perempuan yang tersasar, hanya gelap yang jatuh pada seisi ruang kosong yang tak memberi jawaban. Apakah aku adalah rasa yang tak pernah diinginkan?

***

            Pagi hari yang masih menyimpan sendu, pada malam yang terkesan jahat. Manyakiti dengan bahasa paling menyayat, pada pipi yang tengah dibasahi lelehan butih dari sudut mata yang begitu hangat. Mungkin hari ini ia harus lebih kuat. Aku meraba pipiku sekali lagi, dan benar saja bulir hangat dari pelupuk mataku mulai menitikkannya. Apakah yang membuatku serapuh ini? Aku lagi-lagi mengingat diri ini, yang mana masih memilih ber-Tuhan dan menyembah-Nya. Sekali lagi, aku hendak meminta pada-Nya, namun ku urungkan niatku. Bukankah Ia lebih tahu kata hatiku? Beserta keluh kesah yang ku jamah sejak lama? Mengapa aku harus memperlakukan-Nya dengan begitu hormat, hingga lupa aku punya luka yang tak berdarah? Huh, yang benar saja, apakah Ia tak punya pekerjaan lain? selain menginginkanku memperlakukan-Nya dengan amat sangat hormat?

            Setelah lama menatap embun yang mulai meluruh pada dahan, aku mencoba kembali berkomunikasi dengan diriku. Apakah aku ber-Tuhan atas kepercayaan yang masih tersisa? Ataukah hanya ingin mengisi pertanyaan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang ku gunakan sebagai tanda pengenal Warga Negara Indonesia (WNI) ku? Sepertinya, aku harus mencari jawaban atas perlakuan Tuhan pada ku.

            Beberapa pesan yang dialamatkan padaku mulai bertandang, aku menelisik beberapa pesan penting yang hendak ku baca dan mungkin akan ku balas. Selebihnya, belum menuai keberuntungan, aku takkan membacanya apalagi berlama-lama menatapnya. Tanpa menunggu lama, akupun meng-klik dengan posisi agak lama lalu mengalihkan pada icon sampah, bye.

            Setelah menatap dan menyimak isi pesan tersebut, perlahan ku telan ungkapan yang tepat dialamatkan padaku. Beberapa memintaku terus melanjutkan doa-doa panjangku pada Tuhanku, sembari memohon aku harus melakukan beberapa hal yang terkesan hormat pada beberapa hal yang disemogakan membantu menemukan jalan keluar permasalahan yang kian berkecamuk dalam kepalaku. Hah, yang benar saja. Terlalu naif, kita terlalu kolot menanggapi hal demikian. Ditindas tapi memilih pasrah. Dimana sebenarnya letak-Mu wahai Tuhanku?

***

            Angin mulai menerpa kulitku, merobek hatiku, menyayatnya hingga terasa ngilu sampai ke tulang. Dengan sedikit perasaan gusar, aku memilih untuk membasuh beberapa bagian tubuhku, dan melakukan ritual yang sering disebut perbincangan antara umat dan Tuhannya. Dengan hati yang tulus, aku tak berbekal pengetahuan yang lebih, hanya keyakinan dan niat yang lebih besar dari tubuhku. Aku pun memulainya dari beberapa gerakan terlebih dahulu, kemudian berakhir pada waktu dimana aku mulai merapalkan doa-doa panjang, sebagai bentuk permintaan, tanpa mendikte Tuhan.

            Setelah serangkaian ibadah ku kerjakan, ada perasaan gusar yang berangsur-angsur hilang, ada cemas yang berubah ikhlas, ada yang amarah yang mulai meredam dan pertanyaan yang seolah dijawab “sabar, kamu kuat!” oleh-Nya. Aku pun merasa lebih ikhlas dengan segala keadaan yang menghampiriku dan berhenti bertanya tentang “mengapa aku?” terasa menjadi pilihan-Nya, adalah hal istimewa yang perlu menjadi kebanggaan tersendiri. Aku berusaha percaya bahwa, semua ini adalah rencana-Nya, ia lebih mengetahui yang terbaik bagiku, bukan diriku yang lebih mengetahui hal yang terbaik bagi diriku kelak.

            Ketika, hendak beristrahat, ku cukupkan doa panjangku pada Tuhan, dengan sepenuh hati, aku meminta dengan paling ikhlas, atas segala luka yang ditujukan padaku akhir-akhir ini. Semoga semua ini tak lain dan tak bukan, adalah proses pendewasaan. Aaamiin.

 

Ternate, 18 April 2021

           

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts