Membunuh Lara
Juni 26, 2021
Hai
malam yang kian ramai, diporak-porandakan manusia yang tak gentar menghujam
diri pada dinginnya angin malam. Lambat laun suara yang menggema terdengar
ringkih, lalu hening, pertanda malam telah menjemput pagi. Langkah kaki kian
tak lagi gentar pertanda telah pergi banyak semangat yang mulanya berapi-api.
Aku
yang mulanya tak ingin bertandang pada keramaian dan melihat berbagai ornamen
dan lakon manusia yang kian sempoyongan, bukan karena usia melainkan letihnya
betis menanggung keinginan mengelilingi keramaian kota, di tengah festival yang
berhamburan kembang api dan berbagai aroma makanan yang beragam.
Aku
bersama seorang lelaki yang disebut kebanyakan orang sebagai kakak ipar ku, yah
benar saja, ia suami dari saudara perempuan ku. Kami begitu akrab dalam
beberapa hal, terutama berbelanja kebutuhan primer.
Ketika
melalui beberapa tempat yang hendak kami kunjungi, beberapa kali, dering smartphone milik ku menggelar bunyinya,
aku merogoh isi tas mini yang ku kenakan dengan santai. Setelah beberapa kali
deringnya tak lagi ku hiraukan, karena keasyikan memilih beberapa benda yang
hendak ku beli, aku tak lagi ada niatan untuk kembali merogoh isi tas mini yang
ku kenakan tersebut.
***
Setelah
40 menit perjalanan yang ku tempuh untuk sampai ke tempat tinggal ku, aku pun
mulai membereskan seisi kamar, menyapu lantai dan beberapa hal rutin yang ku
lakukan demi menjaga kebersihan kamar ini.
Untuk
menjaga kewarasan pikiran dan segenap jiwa, aku terbiasa mengkonsumsi berbagai
bacaan yang menurutku bisa membuat seisi kepala ku tetap berada pada keadaan
seimbang dengan adrenalin yang terkadang naik turun. Ketika hendak meraih
beberapa buku yang tersusun pada rak buku yang berada pada sudut ruang tempat
peristirahatan, dering smartphone ku
kembali menggema, lagi-lagi aku tak ingin meraihnya, apalagi menelisik,
siapakah gerangan disana yang tak menyerah menghubungi manusia membosankan
seperti ku. Hah, yang benar saja, kau ingin berperang dengan emosi mu sendiri,
lanjutkanlah perjuanganmu, wahai anak muda yang gigih berseteru dengan waktu.
***
Aku
pun terlupa, hari ini bulan ke berapa kami menjalani hubungan yang terasa
membosankan menurutnya, dengan segenap kesibukakan ku pada dunia ku yang
terlalu membunuh waktu senggang di akhir pekan, pun beberapa jam tidur manusia
normal. Tak luput dari waktu mengirim pesan sekedar bertukar kabar, ia merasa
semua begitu kurang, apalagi tanpa waktu yang bisa menjadi sebuah momen dimana
kita menghabiskan hari, pun berdiskusi tentang kita. Entah mengapa, bahasa
seperti ini terkesan menjijikan, aku tak begitu tertarik menjalani diskusi pun
waktu yang terkesan membunuh produktifitas ku sebagai perempuan pada usia
seperti ini.
Hal
yang sama terus saja terulang, setiap harinya. Awalnya aku merasa risih bin
kasian, akhirnya aku pun mengajaknya untuk mendiskusikan beberapa hal. Rupanya
kami berbeda frekuensi, pun ia yang tak sanggup memahami isi kepala ku. Oh
Tuhan, mungkinkah aku bersamanya atas dasar belas kasih karena, kegigihannya
menyergap hari-hari ku di kala kesibukan melahap habis waktu ku.
Kini
aku mencoba kembali menelisik, sejarah macam apa yang tertulis tentang kita
dahulu, hingga akhirnya aku meng-iyakan menjalani hubungan tak bermakna lebih
dari sekedar menghadapi ocehan seorang bocah yang berfikiran sedangkal air di
selokan depan rumah. Rupanya, aku memiliki belas kasih dan berhusnudzon jika ia
teman diskusi yang baik nantinya. Mungkin, kita akan saling mengetahui satu
sama lain jika terus bersama dan memulai diskusi kecil yang bermakna mengupas
kepribadian masing-masing.
Hari-hari
kami pun berjalan sebagaimana mestinya, ia dengan kesibukannya, pun demikian
diriku, beberapa kali aku meng-iyakan ajakan makan malam dan berdiskusi
dengannya melalui via telepon seluler. Tak ada yang ku fikirkan dengan caranya
meperlakukanku seperti ini, dengan memuji beberapa karya-karya ku yang terbit
pada beberapa media serta beberapa kompetisi yang tengah ku geluti. Beberapa
kali perlakuannya menandakan betapa ia mendukung semua hal yang ku lakukan.
Mulai dari prestasi ku pada bidang akademik pun aktivitasku pada kegiatan
eksternal kampus.
Terlepas
dari segala yang terlihat baik, bagaikan hujan yang turun pada siang hari
secara tiba-tiba. Aku hanyalah perempuan membosankan di mata nya, siapa sangka
beberapa cerita dari mulutnya, mengalir pada mantan kekasihnya. Haha, ini waktu
yang tengah ku nantikan. Trimakasih telah berkata jujur pada perempuan lain,
terlepas dari semua itu, aku tak lagi memikirkan itu alibi atau bukan, yang
jelas aku menjadi tahu mengapa ia kembali menjalin komunikasi pun meminta
kembali bersama dengan mantan kekasihnya.
Setelah
mengetahui hal tersebut, aku pun berlalu dari hidupnya dan berjanji pada diriku
sendiri bahwa semua keadaan takkan mampu goyahkan prinsipku. Penghianatan
tetaplah penghianatan. Takkan ada kembali setelah memilih pergi.
***
Hidup
k uterus berjalan dengan baik, beberapa perjuangan hidup telah ku lalui, jatuh
bangun dalam mengukir prestasi telah ku lalui dengan kerja keras, lelah dan air
mata yang bermuara pada diri yang menjadi kian tangguh. Tak lagi kembali pada
masa lalu adalah pilihan terbaik, bergerak maju menjadi pilihan hati yang
takkan ku khianati.
Sinar
senja mulai bertandang pada keheningan yang mulai mencumbu seisi alam, aku
masih saja menekuni beberapa tulisan lepas yang sedang ku kerjakan, apakah aku
sedang hibernasi, rupanya aku hanya membutuhkan ruang untuk menumpah ruah kan
segala yang bernaung dalam kepala. Sebuah pesan dan beberapa panggilan masuk
terus merundung ponsel ku, aku pun menatap lalu melihat siapakah yang tengah
menghubungi ku bak seorang rentenir? Sebuah pesan dari seorang sahabat, yang
menjadi jawaban seseorang yang meminta kontak ku dengan memohon pun memaksa,
aku hanya tertawa geli, rupanya ada penghianat yang mati lalu memilih
bergentayangan dalam hidupku kembali.
“Sindi,
maafkan aku. Ia memintanya dengan memohon, aku tidak tega melihat aksinya”
pesan dari seorang sahabat yang memberi tahu mengapa ia kembali memiliki
kontakku.
Setelah
beberapa minggu, aku merasa risih oleh pesan dan telepon yang tak ku inginkan,
tanpa banyak berucap, jemari ku telah lebih dulu memblokir dan blacklist kontaknya. Beberapa kali,
sahabat ku kembali menghubungi ku ia meneror dan meminta paksa kontak ku.
Apakah ini bentuk ulah dari seseorang yang kurang kerjaan dan memiliki gejala
psikopat. Fikiran ku tengah menari-nari, apakah yang berada dalam isi
kepalanya, hingga ia begitu gigih ingin menghubungi ku dan apa yang ia inginkan
sebenarnya. Aku pun sudah melupakannya, sejak tiga tahun lalu, saat aku memilih
bubar.
Ketika
aku memilih memblokirnya, ia kembali berulah pada beberapa sahabat ku, entah
berapa ratus kali, aku pun tak dapat menghitungnya, dengan memperhitungkan
berbagai alasannya, akhirnya aku membuka blokir pada kontak miliknya. Namun,
tetap saja semua hanyalah alibi yang memuakkan. Jemari ku ternyata lebih cepat
untuk kembali memblokirnya.
***
Ketika
hari muli redup, pertanda sore akan meninggalkan peraduannya, dan hari kembali
ke peristirahatannya, aku menatap langit yang disertai mendung, sebentar lagi
hujan akan kembali menumpahkan riuhnya rintik air yang mengaliri lereng dengan
sunyi. Gemuruh guntur, petir dan sebangsanya mulai bersahut-sahutan. Ketika
suara hujan mulai keras, aku kembali menatap monitor computer yang masih ku
biarkan menyala, memang sengaja agar aku ingat kembali mengecek beberapa email
dari teman-teman lama ku yang belum sempat ku balas.
Beberapa
saat ketika, aku sedang asyik membaca pesan elektronik tersebut, seorang
tetangga mengetuk pintu, memberi tahu bahwa, ada yang mencari ku. Dengan wajah
setengah kebingungan, aku menelusuri lorong depan kamar untuk menemui pintu
depan yang mengarah pada teras, disana aku melihat seorang lelaki yang
mengenakan jaket, setengah basah, wajahnya basah oleh curah hujan, sepatunya
pun terlihat banyak menampung air hujan.
Ketika
aku mendekat dengan wajah yang ingin menerkam, ia tersenyum, sembari menepuk
bahu ku, menanyakan kabar ku, dan menanyakan mengapa aku enggan membalas pesan-pesannya
pun panggilannya yang berulang kali dilakukan dengan dalih ia mengingatku.
Ketika mendengar semua celoteh sampah tersebut, aku kembali mengingat kapan
terakhir kali aku meninggalkannya, pada permohonannya tak ingin pisah. Hah, aku
lupa. Sudah lama, otak ku memanglah tak tertarik untuk menyimpan memori semacam
itu.
Ia
memulai dari seseorang yang saat ini bersamanya, betapa ia begitu terluka dan
bagaikan hidup yang dipertaruhkan atas dasar kemanusiaan dengan menghidupinya.
Ia begitu merindukan sosok ku yang dahulu tak pernah meropotkannya, segala
sesuatu ku lakukan sendiri, berbeda dengannya, terus saja ia berujar tentang
hidupnya yang sedang tak baik-baik saja, bersama pilihannya saat ini. Aku yang
tak tertarik mendengar keluh kesah darinya, langsung saja mengusirnya pulang.
Dengan wajah kaget dan memerah pertanda betapa ia malu atas kehadirannya yang
tak pernah ku harapkan.
“Dengarkan
dulu, beberapa keinginanku yang tulus, jujur semua tentang mu aku masih
mengaguminya dengan rapi, seperti dahulu sejak pertama aku ingin berkenalan
dengan mu, atas dasar rasa kagum pada mu”
Betapa
aku merasa muak, ingin meludahi wajahnya. Namun, ku urungkan niat ku, karena
beberapa orang melihat aksi ku yang tengah marah-marah dan mengusirnya dengan
kasar.
“Jangan
tinggalkan aku, menikahlah dengan ku, kau bisa kembali berkuliah, aku pun
demikian”
Aku
tak tahan mendengar kata-kata sampah semacam ini. Sontak, aku kembali
mengusirnya sembari berkata “belajarlah lebih baik lagi, adik-adik mu masih
membutuhkan mu, orang tua mu tengah menunggu mu” . Aku heran, mengapa
pemikirannya masih sedangkal itu memaknai kehidupan. Dasar bocah, sejak
beberapa tahun yang lalu, masih sama pola pikirnya. Tanpa menunggu ia berlalu,
aku kembali mencerca dan mengusirnya. Ia masih saja memohon untuk kembali
bersamanya, aku tak tahan lagi dengan drama tai kucing ini, tanpa sadar, tangan
ku melaju lebih gesit dan telah menamparnya, pipinya tengah merah padam,
pertanda betapa kerasnya tamparanku.
***
Ketika
adzan magrib di kumandangkan, aku kembali mengecek pesan pada email yang
biasanya ku gunakan untuk beberapa pekerjaan. Aku melihat beberapa kiriman foto
dari rekan kerja, pun undangan dari sahabat ku. Saat tak sengaja aku mengecek
sebuah kiriman dari rekan kerja ku, aku melihat sebuah email, yang tak ku kenal
pengirimnya, aku membukanya dan menelisik isinya, oh Tuhan mengapa makhluk gila
ini mengirimi ku pesan dengan kata-kata yang membuat perutku mules dan terasa
mual. Sejenak aku pun berfikir mengapa ia begitu gigih mengirimi pesan melalui
email? Oh, rupanya ia sadar tengah ku blokir, dan akhirnya mengirimi ku pesan
via email.
Pada
akhirnya, aku bingung dengan manusia jenis seperti ini, mengapa saat aku baik
dan tengah bersamanya, ia memilih berkhianat. Ketika, aku memilih pergi agar ia
bisa bersama pilihan hidupnya, arwahnya tak tenang, terus saja bergentangan
dalam hidupku. Apakah dia, adalah manusia yang tak rela, melihat hidupku tenang
tanpa nya? Apakah aku perlu berlaku kasar? Agar ia sadar, bahwa aku begitu
terganggu oleh tingkahnya yang kekanak-kanakkan?
Menurutku
hidupku, tubuhku dan pemikiran ku, adalah otoritasku. Apapun yang menjadi
prinsip ku, takkan ku biarkan orang lain mengendalikannya. Apalagi manusia
semacam dia yang tak bernilai di mata ku. Untuk apa kembali pada ku, yang
jelas-jelas, aku takkan kembali untuk mu. Siapa kamu, sehingga merasa begitu
pantas mendikte hidupku dengan kata-kata bualan sampah mu itu?
Aku akan terus hidup bersama prinsip ku, jika saja kamu masih berupaya meminta ku kembali. Semua itu hanyalah mimpi yang takkan pernah menjadi nyata. Lupakan saja, aku takkan luluh oleh kata-kata sampah seperti itu. Mungkin perempuan lain akan percaya, dan menganggap istimewa tapi, tidak dengan ku. Hanya orang bodoh yang akan percaya, apalagi bangga.
0 comments