Pasung Jiwa
Juni 21, 2021
Berbicara
tentang tragedi pola pikir di masa yang
benar-benar belum matang, ada kalanya aku harus berperang dengan framing pemikiran yang telah terbentuk
pada kepala ku saat ini. Bukannya menolak fakta, tentang aku yang pernah
mengalami masa remaja, pun memiliki pemikiran tentang beberapa standar persepsi
kuno ala ABG labil tentang rasa, resah dan cinta. Ini benar-benar menjijikan
jika di ingat-ingat kembali, apa sajakah indikator yang pernah ku gunakan untuk
mengukur pria idaman dan sebangsanya. Apakah kamu pernah berada pada masa
seperti ini? Haha, pasti pernah. Jika belum pernah, tandanya usia mu saat ini
terlampau jauh lebih muda dari ku.
Aku
adalah salah satu orang yang percaya bahwa, benturan masa lalu atau pengalaman
di masa lalu dapat menjadi luka atau percaya sehingga, tumbuh menjadi keyakinan
dan hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kehidupan kita di masa yang akan
datang. Jika, kalian menganggap hal ini tidak terlalu meyakinkan, mungkin bisa
dicoba pada responden dengan sampel lebih dari 40 atau 50 misalnya, dengan
menggunakan uji statistic regresi
logistic biner, seperti yang sedang ku terapkan saat ini pada skripsi ku
dengan penuh cinta dan lelah yang berarti tulus, hehe.
Seorang
Sara Johnson, selaku asisten professor di sekolah Johns Hopkins Bloomberg of Public Health pernah berkata "Otak terus berubah sepanjang waktu,
tetapi ada lompatan besar dalam perkembangannya ketika memasuki masa remaja.
orangtua harus memahami bahwa meskipun anaknya tumbuh besar, pada tahap ini
remaja masih berada dalam masa perkembangan yang akan mempengaruhi kehidupannya
selanjutnya".
Ketika
aku membaca paparan Sarah, aku kembali menyelami kota yang bernama kenangan,
dimana aku menemui beberapa sahabatku, teman bahkan beberapa anak-anak yang
bersekolah dengan ku dahulu, dengan tingkah aneh mereka, ketika menginjak masa
pubertas, emosi dan egois yang begitu subur hingga aku membencinya, orang tua
mereka yang kian kalap, tak lagi menjadi figur apalagi menjadi tempat dimana
mereka bisa mengungkapkan resah dalam diri yang sedang dihadapi. Semua begitu
cepat berlalu. Hal tersebut pun bagaikan ombak, banyak yang tak menyangka akan
perubahan yang kadang tak terlalu nampak pada beberapa waktu.
Hingga
pada suatu waktu, aku memikirkan beberapa kejadian tak mengenakkan pada masa
lalu itu, merasakan perubahan-perubahan aneh itu beberapa kali, apakah
sebenarnya ini kerja otak yang lambat? Ataukah memang seperti itu kerjanya?
Hingga akhirnya, aku menemukan jawaban pada sebuah temuan yang diterbitkan
jurnal Nature Neuroscience menegaskan
bahwa ledakan pertumbuhan saraf terjadi untuk kedua kalinya tepat menjelang
pubertas. Puncaknya adalah saat usia sekitar 11 tahun untuk anak perempuan dan
12 tahun untuk anak laki-laki. Perkembangan ini diperkirakan terus berlanjut hingga
usia 25 tahun. Beberapa perubahan kecil juga tetap berlangsung seumur hidup.
Ketika
duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama), aku bersama beberapa teman
aktif mengikuti berbagai kegiatan yang ditawarkan di sekolah kami, hal ini kian
berlanjut hingga kami memasuki dunia putih abu-abu atau SMA (Sekolah Menengah
Atas). Beberapa teman-teman enggan mengikuti hal tersebut, padahal aku melihat
beberapa potensi atau kemampuan akan lomba yang kerap ditawarkan sebagai ajang
kompetisi siswa SMA. Aku melihat bercak emosi, luapan kekesalahan akan masalah
hubungan mereka dengan keluarga yang kian tidak sehat, pacar yang tak sesuai
ekspektasi, semua menjadi beban. Melihat kemampuan mereka yang baik namun sayangnya,
remaja masih terlalu dipengaruhi oleh emosi karena, otaknya lebih mengandalkan
sistem limbik yang mengedepankan
emosi ketimbang korteks prefrontal
yang mengolah informasi secara rasional. Remaja berada di tengah kesenangan
memperoleh keterampilan baru yang luar biasa, terutama yang berkaitan dengan perilaku
sosial dan pemikiran abstrak. Tapi karena belum pandai menggunakan, remaja
harus melakukan percobaan. Terkadang orangtuanya sendiri dijadikan sebagai
kelinci percobaan.
Banyak
remaja melihat konflik sebagai sarana untuk mengekspresikan diri dan mengalami
kesulitan untuk berfokus pada hal-hal abstrak atau memahami sudut pandang orang
lain. Pada dasarnya remaja masih membutuhkan orangtuanya dengan kematangan
emosional agar membantunya tetap tenang. Tanpa disadari remaja memanglah
membutuhkan figur dimana sebagai sarana untuk mengarahkan, pun memahami emosi
yang dimilikinya.
Perubahan
hormon saat pubertas berdampak besar bagi otak, salah satunya adalah memacu reseptor oksitosin diproduksi lebih
banyak. Oksitosin meningkatkan
kepekaan sistem limbik dan berkaitan
dengan perasaan kesadaran diri, sehingga membuat remaja merasa seolah-olah ada
orang yang mengawasi. Dahulu, saat remaja aku sering mengalami hal tersebut,
pernah terfikirkan mungkin kah aku tak normal? Seiring berjalannya waktu menuju
usia dewasa, aku lupa, akhirnya aku menemukan jawabannya melalui beberapa situs
langganan ku. Ternyata, aku pun normal pada masanya, hehe. Hal ini mungkin
membuat remaja jadi tampak egois. Di sisi lain, perubahan hormon dalam otak
remaja ini juga dapat membuat remaja menjadi lebih idealis. Sampai otaknya
berkembang untuk menghadapi isu-isu yang bersifat abu-abu, remaja cenderung
berpikir secara sepihak.
Membahas
tentang idealis pada masa remaja memanglah hal memualkan namun, realistis.
Mengapa tidak? Aku sendiri mengalami hal tersebut, membenci seseorang dengan
satu sudut pandang, lalu dibenarkan oleh ego dihayati oleh emosi, tamat cerita,
orang tersebut pasti perannya di kecam sebagai antagonis. Berfikir secara
sepihak, benar adanya, apapun itu, tanpa melihat dari sudut pandang yang lebih
luas, tak lagi memikirkan untuk mencari tahu alasan sebenarnya mengapa
kejadiannya bisa seperti itu, ketika mendapatkan satu sumber saja, ia akan
mempercayainya dan menuduh pihak lain tak baik, titik.
Beberapa
kejadian di masa lalu sempat terlintas dalam isi kepala ku, mungkinkah dulu aku
terlalu bodoh, aku sok pintar. Aku pernah memberi beberapa poin pada list, pria
idaman atau pasangan hidup. Lalu, aku berfikir jika aku akan bahagia dengan
standar-standar yang telah ku gariskan, apapun itu, mulai dari pendidikan,
sosial, ekonomi bahkan keyakinan. Hingga akhirnya, hal tersebut hanyalah
dongeng putri tidur di kala sedang ternina boba oleh masa.
Dewasa
ini jadi terfikirkan betapa kita yang memilih hidup dengan standar seperti itu,
hanya akan membuat jiwa kita terperangkap. Takkan merdeka dengan senyamannya,
takkan merasakan bahagia yang lebih dengan se-apa adanya diri kita. Dan pada
akhirnya, aku merasakan semua indikator itu bukan ukuran absolut, bukanlah
jaminan menuju tenang, apalagi bahagia. Karena, untuk mencapai bahagia, hanya
perlu syukur dan saat mencintai itu menjadi hal yang membebaskan, menjadi jiwa
yang merdeka tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, standar apapun, dan
persetan dengan tuntutan kaum patriarki.
Hingga
akhirnya, aku sampai pada jalan dimana, kita akan merasa cinta tanpa kata tapi
dan mengetuk pintu yang disebut “indah” adalah mereka yang datang tanpa pergi.
0 comments