Seni Memahami Depresi

Juni 19, 2021

 


Penggunaan gambar diatas merupakan beberapa pilihan yang diambil dari orang-orang yang sedang mengalami depresi, atau tekanan batin yang mana  berasal dari pekerjaan, hubungan dengan keluarga yang tak sehat pun dengan pasangan hidup dan sebangsanya. Seperti yang kita ketahui bahwasannya untuk merangsang dopamin bisa diperoleh dari tiga sumber yakni; kopi, alkohol dan rokok. Jadi, gambar tersebut menandakan aktivitas untuk memacu dopamin dikala seseorang mengalami depresi.

Aku adalah mahasiswa tingkat akhir, dengan siklus depresi akut yang memungkinkan salah satu aktivitas diatas untuk memacu dopamin. Bukan lagi soal rasa kopi yang pahit, tapi bagaimana kerjanya dalam memacu dopamin dalam tubuh kita. Seluruh mahasiswa tingkat akhir pun akan merasakan hal yang sama dengan ku namun, tidak semua memiliki respon yang sama, tak semua orang menyukai kopi pun menikmatinya, tak semua orang bisa mengkonsumsi rokok dengan baik pula. Tak heran, jika beberapa orang yang mengalami depresi akut akan mencari salah satu atau 2 sumber diatas demi merangsang dopamin. Kalian pasti sering melihat teman, saudara atau kerabat yang mengalami hal tersebut dan memilih salah satu atau dua hal diatas sebagai bentuk respon terhadap stress atau tekanan batin yang dialami.

Selain hal-hal diatas, aku memiliki respon emosional terhadap stres yang merundung ku, dengan cara tidur yang memiliki durasi lebih lama dari biasanya, bisa sampai 12 jam bahkan lebih, lebih mudah merasakan lelah secara mental dan hanya memikirkan tidur sebagai pilihan terbaik. Aku pikir hal tersebut merupakan pilihan yang tepat, mengapa? Jika aku tak memilih untuk tidur dan tetap bersosialisasi dengan orang-orang sekitar, aku tak bisa menjamin dapat mengontrol emosi dengan baik, pun bijak.

Aku mengurangi beberapa komunikasi dengan orang-orang terdekat apalagi yang tidak penting. Ini bukan sebagai bentuk kesombongan atau enggan secara tak berdasar namun, rasanya diriku sedang tak membutuhkan itu. Beberapa orang yang memahami ku pun akhirnya tak lagi memulai komunikasi tak bernilai seperti biasanya.

Beberapa orang menganggap depresi pada mahasiswa tingkat akhir sebagai bentuk hal yang biasa dan tak perlu dibahasakan. Aku pernah bertemu manusia dengan spesies seperti ini “Alah, Cuma gitu doang, ya kalau mau jadi sarjana yang harus skripsi”, “Cuma skripsi doang, stressnya gak selesai-selesai” ingin rasanya tukeran posisi, biar tahu seperti apa mereka jika berada di posisi ku. Apakah mereka bisa melakukan penelitian sambil tiduran? Mengolah data sambil gibahin orang? Menguji hasil dengan uji regresi logistic sambil merem?  

Mengapa masih banyak yang memiliki persepsi tentang stress hanya sebatas bentuk respon tubuh yang tidak penting, pada stres yang bisa hanya dimaknai dengan pemikiran sempit atau asumsi tak bernilai seperti itu. Usia anak-anak pun pasti pernah mengalami stres, walaupun hanya bersifat sementara, jika dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu kesehatan fisik pun melemahkan daya tahan tubuh seseorang. Hal tersebut cukup serius, mulai dari siklus menstruasi yang tak menentu atau pada kesehatan reproduksi lainnya dan gangguan pencernaan,

Gejala stress umum yang sering kita temui namun, terkadang kita tak pernah tahu jika itu bagian dari respon tubuh kita terhadap stress, baik secara emosional, kognitif, fisik serta prilaku. Biasanya aku sering merasakan moody, suasana hati yang gusar, hilang kendali dan menghindari orang lain namun, sebenarnya masih ada beberapa poin lagi yang termasuk dalam respon emosional ini diantarnya, merasa kesepian, tak berguna dan depresi. Pada pengalamanku aku memiliki gejala stress pada taraf kognitif ini lebih sering lupa dan sulit memusatkan perhatian namun, ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa, pada hal kognitif ini bisa juga terjadi rendah diri, memiliki pandangan yang tidak baik atau yang dikenal dengan negative thinking serta membuat keputusan yang tidak baik. Keadaan fisik yang mana memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kelangsungan stress yang kita alami, diantaranya aku pernah mengalami nyeri otot, jantung berdebar, gangguan tidur, telinga berdegung dan gangguan menstruasi. Gangguan fisik ini memiliki lebih banyak varian, jika kalian merasakan gangguan pencernaan, kaki dan tangan dingin disertai keringat, menurunnya hasrat seksual pada mulut terasa kering dan sulit menelan, hal tersebut pun merupakan gejala stres. Nah, yang terakhir pada prilaku, dimana kamu akan menemui orang yang sedang depresi menghindari tanggung jawab, kurangnya nafsu makan alias tidak mau makan, memiliki sifat khas seperti menggit kuku atau sejenisnya yang mana hal tersebut identik dengan dirinya serta merokok, minum kopi dan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah berlebih.

 

Apakah gejala stress ini cukup sederhana dengan segala hal yang berpotensi terjadi pada penderita depresi? Sehingga dianggap hal biasa yang tak perlu diseriusi? Rupanya kita yang tak perlu menganggap serius orang-orang yang beramsumsi tanpa pengetahuan ini. Karena, mereka hanyalah orang-orang memiliki ilmu hanya sebatas diotak tak pernah turun hingga ke hati.

Beberapa orang-orang terdekatku memiliki kadar depresi yang cukup akut, hingga akhirnya berakhir pada situasi dimana mereka melenyapkan diri sendiri dengan tragis. Beberapa teman terdekatku memilih untuk mengkonsumsi alkohol dan rokok dalam jumlah berlebih, sebagai bentuk ketenangan, akibat dopamine yang dipercaya dapat menenangkan. Aku tak pernah menyalahkan pilihan mereka atas diri sendiri, mereka bukanlah orang bodoh yang dengan sengaja bersikap demikian, mereka orang-orang butuh healing self  harusnya kita hadir dan merangkul mereka, memberikan motivasi sebagai asset utama menuntun mereka menuju keyakinan bahwa mereka berharga dengan se-apa adanya diri mereka, tak perlu merasa kurang karena, semua orang memiliki kekurangan.

Nah, sekarang kita tahu kan, orang yang memilih jalan merangsang dopamin dengan cara yang menurut kita tidak baik itu, merupakan produk dari depresi yang di alaminya. Bukan semata-mata lahir akibat kesadaran diri. Stres atau tekanan batin memiliki sebab yang berbeda-beda mulai dari hal-hal kecil seperti perasaan yang tak berbalas,  semua orang memiliki respon yang berbeda-beda pula dalam menanggapinya. Jadi, mari saling menghargai setiap kekuatan dan cara menanggapi stress pada diri setiap orang, saling menguatkan, memotivasi dan memahami tingkat stres setiap orang beradasar, berhentilah berasumsi tanpa pengetahuan.


You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts