Rumah Masa Kecil
Februari 03, 2025
Siang ini terik mentari begitu menyengat di kulit, menepi bagian ari dan menembus epidemis, dermis hingga hipodermis. Begitulah hawa panas yang ku rasakan di rumah ini. Setiap kali kembali ke rumah. Rasanya kenangan masa kecil kembali menarikku ke jalan kenangan, membuatku kembali mengumpulkan setiap cerita yang penuh arti di jalan tersebut. Aku tak lagi dapat menghitung, berapa banyak cerita kami, yang begitu ceria, sedih dan menyayat hingga akhirnya membuatku enggan kembali berteduh di rumah ini.
Rumah yang terletak tak jauh dari bentangan sawah yang membawa hawa sejuk tetapi, tidak dengan saat ini, semua jauh berbeda. Setelah lama tak kembali ke rumah ini, dan memiih bertumbuh di kota tempat aku belajar, aku merasakan banyak hal yang telah bertransformasi, mulai dari suasana desa yang telah berangsur-angsur hilang lokasi sawahnya, yang mulanya begitu hijau dan memanjakan mata, semilir angin yang membelai lembut kulit, nyanyian alam berupa suara burung yang silih berganti, semua rasanya telah berkurang dan berganti dengan hawa panas, hilangnya sawah-sawah dan pepohonan rindang di tepi jalan raya dan gang. Suasana petani yang berbondong-bondong memanen hasil sawah dan kebun, lalu menjualnya ke pasar, itu sudah sangat jarang terjadi di sekitarku.
Apa yang terjadi sejauh ini? entahlah, aku tak mengerti.
Hanya satu tempat yang rasanya belum terlalu masif pergeserannya hingga kini yakni, pasar tradisional. Di sini, aku dapat menemukan dopamin, membawaku kembali bertamasya pada memori masa kecilku, dimana jajanan tradisional masih menjadi pemenang di akhir pekan atau pagi hari, dengan cita rasa yang masih sama, ramahnya penjual cenil yang penuh kasih dan terlebih masih mengingat dan menyimpan memori tentangku yang sejak dahulu gemar berburu jajanan tradisional di pasar. Sangat luar biasa bukan? awalnya sang pedagang jajan tersebut sedikit ragu dan kembali bertanya “Ini Nia ya?” dengan tersenyum lebar aku mengangguk "nggih bu, kulo Nia“, sang pedagang pun berdecak kagum “Iih Nia wis gede, tambah ayu, suwi wis ra bali kene, tuku cenil e campur lupis to?” sang pedagang rupanya masih mengingat selera jajan cenil ku, wajib cenilnya di campur lupis hehe.
***
Dahulu, pekarangan rumah di penuhi oleh tanaman berupa pohon Mangga, Kelapa, Nangka, Nanas, Jeruk dan bunga-bunga koleksi Mama, dan yang teramat spesial miliknya ini adalah hal yang paling tidak boleh di sentuh oleh selain pemiliknya, kami semua tahu betapa istimewanya tanaman satu ini. Saat kembali ke rumah, saat ini aku melihat sekitar pekarangan tak lagi ada pohon Kelapa yang dahulu menjulang tinggi, dan 2 pohon Mangga raksasa yang mengapit bagian belakang dapur rumah kami, pohon Nangka pun tak lagi menyisakkan jejak sama seperti Nanas dan kawanannya yang bernasib naas.
Mama banyak bercerita, saat kami sibuk di kota dan ia bekerja di site, rumah ini di kontrakan menjadi salah satu koperasi harian yang cukup terkenal di daerah sini, para penyewa mengabaikan perawatan tanaman di pekarangan bahkan, kebersihan rumah. Sehingga, menyebabkan beberapa tanaman kehilangan harapan hidup, dan Mama berinisiatif membersihkan pekarangan dan meminta pekerja harian menebang pohon-pohon Kelapa dan Mangga yang menjulang tinggi. Kemudian, ia pun memulai aksi merenovasi rumah, di mulai dari bagian belakang rumah.
Sebuah ruangan kosong yang berukuran tak begitu besar, menjadi saksi tempat aku bermain sehari-hari dengan boneka-boneka dan jenis permainan lainnya tanpa teman. Ruangan tersebut ku datangi sepulang sekolah hingga menjelang waktu tidur siang, dan kembali pada sore hari, kemudian aku beristirahat pada malam hari. Saat ini, ruang tersebut telah bertransformasi menjadi garasi motor karena posisinya yang berada paling kanan bagian rumah.
Aku menatap sebuah lemari usang yang menyimpan banyak kisah semasa kecilku. Dahulu, lemari ini berada di ruang bermain ku, saat ini sudah berada di depan kamar tidur. Menyimpan banyak buku semasa aku kuliah, namun tidak semua karena, banyak buku yang telah ku hibahkan bahkan di minta oleh beberapa kerabatku. Rupanya Mama masih ingin mengarsipkan sisa buku-buku milikku beserta skripsi di dalam lemari tersebut.
***
Tak pernah terfikirkan pada akhirnya aku kembali ke rumah ini, jauh sebelumnya pengalaman dan perjalanan hidup menuntunku bergerak jauh dan tak menginginkan kembali ke rumah yang memoar banya kisah masa kecil di tempat tugas ayah ini. Bagaimana tidak? selain pekerjaan ku yang tak pernah ada di daerah ini, minim keinginan untuk kembali sejak melangkahkan kaki dari rumah pada usia 12 tahun, awal aku duduk di kelas VII.
Jika di tanya apa yang berkesan dan selalu ku ingat tentang rumah ini, mungkin yang terlintas di benakku, ialah tentang masa kecil tanpa beban dan penuh aturan. Aturan tidur siang dan di larang bermain jauh dari rumah karena, di khawatirkan aku pergi bersama teman-teman ke kali dan mandi di sana berlama-lama lalu, tenggelam. Yah, itulah puncak kekhawatiran Mama dan Papa semasa kecilku karena, mereka tahu bahwa, aku gemar mandi di sungai, mungkin karena dahulu aku banyak membaca dongeng tentang para bidadari yang gemar mandi di sungai hehe. Padahal, jika saja mereka berdua yang mahir berenang ini mengajariku caranya berenang, aku takkan tenggelam, bukan? fikirku saat itu.
***
Rumah yang di bangun pada tahun 1998, setelah akhirnya Papa dan Mama memiliki rezeki untuk membangun rumah pribadi dan memilih meninggalkan perumahan dinas yang di tempati sejak awal papa pindah tugas ke daerah ini pada tahun 1985-an. Di tempat ini aku di lahirkan, tumbuh sebagai anak yang setiap hari tak lekang dari pengawasan Papa, dan satu hal yang paling melekat dalam ingatan ku tentang Papa yang juga merupakan cinta pertama yang bisa menjadi teman di saat tertentu sehingga, memungkinkan aku tak perlu teman yang lebih banyak di rumah.
Malam yang sepi rupanya menjelma menjadi kehangatan di tengah-tengah aku dan Mama, obrolan tentang keinginannya di masa tua pun mengalir, aku pun berusaha untuk tidak menghakimi setiap kalimatnya yang tak sejalan denganku. Menjaadi dewasa bukanlah tentang kita dan pemikiran kita di hadapan orang tua tetapi, bagaimana kita dapat menerima dan memperlakukan orang tua kita dengan pemikirannya yang tak sejalan dengan kita secara rasional.
Menjadi anak bungsu memanglah satu-satunya teman dan tempat cerita di masa tua Mama, bagaimana mungkin aku yang memiliki keinginan untuk membangun hidup di tempat lain harus pergi begitu saja sementara, orang tuaku menginginkan aku tetap berada di sisinya hingga menutup usia, terlebih ia ingin menhabiskan masa tua di rumah ini, ia telah membulatkan tekad yang layak di sebut rumah, tempat berteduh di masa tuanya ialah tempat ini. Ia mulai mengurai cerita melankolis tentang perjalanan dan perjuangannya bersama Papa sejak awal membangun rumah tangga hingga terbangunlah rumah ini, dengan penghasilan PNS pada tahun 1981 yang tak seberapa namun, mereka harus memutar otak dan mencari cara untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga hingga menabung dan membangun rumah di era itu, sungguh bukanlah perkara mudah. Cerita tentang usia dewasa hanyalah tentang penerimaan dan berdamai dengan keadaan, hal yang tak pernah ku fikirkan sebelumnya, dengan sejuta impian dan road map yang pernah ku buat, ini adalah hal terjauh yang harus ku terima.
Subaim, 4 Februari 2025
0 comments